Penulis : Haeruddin
Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi UGM
dan Pegiat Sanggar Maos Tradisi Yogyakarta
|
TAMBORA INFO.-Sejak dicetusnya otonomi daerah atau desentralisasi,
realitas kepemimpinan daerah banyak menyisahkan pilu, namun tak sedikit yang gegap
gempita dalam wujud perilaku dan kebijakan kepala daerah yang dirasa jauh dari
kebutuhan dan kepentingan lansung rakyatnya. Pada akhirnya orientasi politik
masa kini telah bergeser dari cita-cita kelahirannya, yakni politik sebagai
jalan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Seperti yang dikatakan Arief
Budimana (2002) dalam Negara, Kekuasaan
dan Ideologi, bukankah sudah jelas bahwa negara dan pemerintah sebagai
agennya adalah lembaga yang melayani dan menyalurkan berbagai kepentingan yang
ada di masyarakat. Bukan rejim yang hanya membangun dan melegitimasi dinasti
dan oligarki politik. Namun, kini politik dan perangkat supranya perlahan tapi
pasti telah berubah menjadi institusi investasi bisnis yang menjanjikan segala
keuntungan ekonomi. Sehingga, politik menjelma panggung citra entertaiment yang
hanya menawarkan kemasan, tapi nihil isi. Inilah sindrom politik yang kemaruk
digadrungi oleh aktor-aktor politisi masa kini.
Dalam ukuran politik kontemporer, politik memiliki
dua kehendak. Politik sebagai ketertiban, yakni sebagai struktur dan prosedur
atau aturan main yang netral yang menentukan bulat lonjongnya kadaulatan. Politik
sebagai keputusan. Keputusan yang mengecualikan diri dari segala tertib dan
struktur demi keselamatan publik. Padahal politik bukan soal struktur dan
prosedur melainkan keputusan radikal-visioner yang mengubah koordinat
ketidakmungkinan. Sebagaimana rakyat menuntut kepastian dari tindakan politik
pemimpinya. Inilah kiranya ukuran politik yang paling relevan dengan kondisi
kekinian untuk pemimpin sekarang dan ke depan. Bukan politik ambivalen serta ambigu
yang marak dipertontonkan oleh para pemimpin politik, baik melalui podium
maupun di layar televisi.
Selanjutnya, dalam mengelola
politik, pemimpin harus memiliki turunan moral-etis sebagai standar, seperti perilaku,
yaitu keberanian menelorkan lompatan-lompatan ide atau kebijakan dari kebiasaan
sebelumnya dan kejujuran, dimana satunya kata dengan perbuatan serta keadilan
yakni memberikan apa yang menjadi haknya. Bukan setiap kewajiban dimaknai sebentuk
tindakan kepahlawanan. Dan tentunya, seorang pemimpin haruslah manusia yang
sudah selesai dengan dirinya agar tidak menjadi pemimpin yang haus dan rakus.
Sisi
lain, espektasi politik masa kini masih pada taraf harapan, namun rendah pada
ukuran etis, yaitu apa yang senyatanya dan seharusnya dilakukan. Begitu juga
orientasi pembangunan ekonomi lebih mengedepankan pertumbuhan fisik namun
miskin pemberdayaan potensi sosilogis setempat. Hal ini telah menjadi model dan
arah perilaku kepemimpinan politik daerah. Pada era ini mulai menguat anggapan
terhadap citra maupun stereotipe pemerintah yang bobrok disebabkan penglolaannya
yang tidak akuntabel dan transparan. Maka pemerintah saat ini harus melakukan
pembenahan internal yang ketat mulai dari perilaku birokrasi hingga regulasi. Jika
hal itu tidak dilakukan maka sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan simpati
dan kepercayaan dari rakyat. Dan pastinya akan bergelindang pula jatuhnya
kewibawaan dan kedaulatan pemimpin itu sendiri.
Maka demikian, ada beberapa hal yang menjadi tagihan
publik yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah daerah. Pertama agenda pemeberantasan korupsi.
Persoalan korupsi telah merambat struktur kekuasaan dari atas hingga ke pegawai
rendahan dengan berbagai metode dan modus. Kedua
Politik Anggaran. Anggaran rutin
memakan sebagaian besar porsi APBD. Misalnya, terus menanjaknya anggaran dinas,
baik belanja langsung maupun tidak langsung. Biaya untuk birokrasi terus
membengkak karena pemerintah saat ini senang membuat komisi, pansus dan satuan
tugas, tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara di sisi lain,
infrastruktur publik membembutuhkan biaya yang tidak sedikit. Alhasil, utang
dijadikan solusi. Faktanya pemerintah masih miskin inovasi dan terobosan. Hal
ini membuat pemerintah semakin bergantungan pada APBD, tentu saja pada akhirnya
tidak bisa berbuat banyak. Ketiga konflik
sosial dan konflik sumber daya. Konflik ini muncul akibat keterlibatan
kekuatan-kekuatan vertikal. Konflik lahan antara rakyat dengan pengusaha
mengenai hak atas tanah, yang sebagian besar dimenangkan oleh pengusaha. Sebab
pengusaha banyak ditopang oleh kekuatan negara dalam bentuk regulasi. Contoh
lain, menguatnya sengketa tanah eks jaminan antara rakyat dengan rakyat namun
pemerintah tidak hadir guna memberikan resolusi dan kepastian hukum atas objek
yang disengketakan. Sikap tersebut sama seperti menyimpan bara dalam sekam,
yang suatu saat akan meledak menjadi konflik terbuka. Begitu pula konflik
komunal antar kampung disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan penegakkan hukum.
Maka lembaga hukum, aparat penegak hukum, dan budaya hukum harus segera
dibenahi. Keempat Kesenjangan
ekonomi. Penataan pembangunan ekonomi kita masih berorientasi pada pemerataan
berbasis makro atau fisik semata, tetapi miskin pemberdayaan potensi berbasis sektor,
seperti bawang merah dan garam. Selanjutnya, pendekatan pembangunan pemerintah
daerah selama ini cenderung normatif yang sarat pencitraan. Seharusnya
pembangunan ekonomi berbasis sektor perlu menjadi skala prioritas utama yang
harus dikedepankan oleh pemerintah bila ingin mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu intervensi pemerintah yang harus didorong adalah
melalui penyediaan infrastruktur produksi, akses pasar, dan regulasi. Bukan
sebaliknya mengakomodasi semua kepentingan politik pragmatis dan investor, yang
pada akhirnya para pemodal besar inilah yang memonopoli hampir disemua sektor
ekonomi strategis yang berhubungan langsung dengan hajat hidup rakyat. Kelima perekrutan politik dan
restrukturisasi di tubuh birokrasi. Setiap calon pemimpin atau pada saat
dilaksanakan suksesi politik dan saat penataan struktur birokrasi di sisi lain,
yang dimaknai banyak kalangan sarat politis dan cenderung transaksional, lebih
banyak diarahkan pada penguatan modal. Sebab indikator pengambilan kebijakan
lebih dominan aspek kepentingan daripada aspek kebutuhan. Sehingga kemudian,
tak dipungkiri munculnya praktek-praktek penyimpangan kekuasan dikemudian
tentulah tidak bisa dihindari.
0 Comments