Penulis :Agam Anatama (Pengurus Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia) |
“Apakah jika pohon terakhir akan ditebang, dan
mata air terakhir berhenti mengalir, baru saat itulah manusia sadar bahwa uang
tidak dapat dimakan dan diminum”
TAMBORA INFO.-Belum hilang dalam
ingatan kita tentang bencana banjir yang menimpa Dana Mbojo tercinta beberapa pekan lalu yang menyisahkan luka yang
cukup mendalam. Tidak ada yang menyangka bahwa kota yang indah nan eksotis bisa terendam banjir hampir 85% wilayahnya.
Bencana yang muncul ini tidak dapat kita pandang secara parsial dengan paradigma
pembangunan dan tata kelola lingkungan yang diterapkan oleh pemerintah setempat,
belum lagi penebangan hutan secara massif tanpa terkontrol dan manipulatif oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab, dan tentu saja dengan alasan klasik
“ekonomistik”.
Banjir serta krisis ekologi
yang terjadi saat ini diakibatkan oleh cara pandang (paradigma) ilmu
pengetahuan modern yang melihat alam sebagai objek untuk dikaji, dianalisis,
dimanipulasi, direkayasa dan dieksploitasi. Paradigma yang banyak dipakai hari ini
memandang manusia sebagai sesuatu yang terpisah dari alam, bukan satu kesatuan.
Sehingga manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memelihara alam
karena menganggap dirinya bukanlah bagian dari alam. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi tidak dinikmati oleh semua orang, melainkan malah
dijadikan sebagai alat ekspolitasi alam yang tidak bertanggung jawab demi
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini pula yang menjadi landasan
berpikir dalam pembangunan tata Kota Bima yang telah mengedepankan keindahan
kota tanpa memperhatikan lingkungan sekitar.
Letak kota yang berada di
dataran rendah yang dikelilingi oleh bukit dan gunung serta berada di pinggir
teluk bima menjadikan kota ini begitu eksotis, namun pengelolaan pembangunan yang
tidak bersahabat dengan lingkungan dan bervisi kerakyata dengan menimbun hutan
mangrove di sepanjang teluk bima serta pengerukan gunung di sepanjang teluk
bima menyebabkan alam tidak lagi seimbang untuk kehidupan manusia. Selain itu
corak pembangunan tersebut tidak berorientasi kepada rakyat, terbukti tingkat perekonomian rakyat tidak tumbuh,
rakyat tidak sejahtera, dan diliputi kekecewaan sehingga banyak yang memutuskan
untuk mengadu nasib ke luar daerah bahkan luar negri.
Ketertundukan terhadap
modal menjadikan seluruh lini kehidupan manusia di Komodifikasi yaitu merubah nilai manfaatnya menjadi nilai tukar
yang berorientasi profit. Tidak terlepas pula yang terjadi pada alam dan
pesisir pantai teluk di Kota Bima yang telah menimbun puluhan titik hutan
mangrove disepanjang pantai tersebut. Di tengah pengerukan massif kekayaan alam atas nama
pertumbuhan ekonomi, mengajukan orientasi politik ekologis yang bervisi kerakyatan
adalah upaya yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini menjadi sangat
krusial di tengah membludaknya ilusi-ilusi ekologi yang diartikulasikan oleh
ideologi kapitalisme, seperti, misalnya, ‘ekonomi hijau.’ ‘kebijakan hijau,’
atau bahkan ‘gaya hidup hijau’ yang pada dasarnya tidak lebih sebagai upaya
menetralisir keresahan rakyat terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan
proses akumulasi modal.
Reforma Agraria Sejati
sebagai jalan keluar mengatasi krisis Ekologi
Reforma
Agraria sejati adalah suatu konsep yang dapat di artikan sebagai redistribusi
sumber-sumber agraria (bumi dan semua potensi kekayaan yang terkandung di
dalamnya), dengan tatakelola yang kolektif (melibatkan seluruh unsur
masyarakat) dan bervisi kerakyatan. Agraria yang dimaksud mencakup semua yang
berkaitan dengan sumber-sumber agraria seperti, laut, hutan, udara termasuk
tanah yang di dalamnya terdapat kekayaan semisal tambang, minyak dan lain-lain
harus dikuasasi oleh negara dengan di bawah kontrol rakyat yang meliputi penggunaan
dan peruntukkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat dalam dimensi
kolektifisme bukan seperti yang dilakukan saat ini dengan mengundang investor
asing maupun domestik yang akan mengeruk alam untuk kepentingan pribadi dan
menyisahkan kerusakan lingkungan.
Setelah
dikuasai oleh rakyat lalu bagaimana tatakelola agraria? Penataan produksi
berkaitan dengan bagaimana sumber-sumber agraria termasuk kekayaan yang
terkandung di dalamnya mampu ditata dan diolah (produksi) dengan hubungan
produksi yang adil dan merata tanpa ada yang dirugikan antara satu dengan
lainnya karena diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Paradigma tatakelola
pembangunan harus bervisi kerakyatan dengan tidak mengenyampingkan lingkungan
sekitar karena sejatinya konsep tata ruang dan lingkungan haruslah memicu
kesejahteraan untuk rakyat banyak bukan hanya sekelompok orang. Selain itu
untuk menjamin terlaksananya reforma agraria sejati perlu ada suatu aturan yang
mengikat. Tata hukum harus memuat
poin-poin yang mengatur terjaminnya keadilan, kesamaan akan hak tersebut
sehingga hal yang menyangkut dengan sumber-sumber agraria sejati dapat
berjalan, bertahan dan dimajukkan secara terus menerus karena Saat ini, hukum
yang ada adalah hukum yang menjamin dan memberikan legitimasi bagi kelas
pemodal atau borjuasi. Maka untuk keberlangsungan penggunaan dan penguasaan
sumber-sumber agraria tata hukum yang ada harus dirombak semua digantikan
dengan tata hukum baru yang memberikan keadilan bagi semua masyarakat tanpa
pandang bulu, tanpa ada hak istimewa dalam hukum, tanpa upeti bagi segilintir
orang/kelompok, tanpa sogokan dari si rakus tak bermoral (pemodal) semua orang
sama dalam hukum.
Agar
rakyat memiliki akses untuk mengawal dan berpartisipasi dalam tatakelola
produksi dari agraria perlu adanya organisasi Tani, organisasi Pemuda yang
progresif dan organisasi rakyat lainnya sebagai manifestasi kolektifitas
sektoral untuk mengawal pembangunan dan tatakelola agraria tersebut agar
pembangunan tidak mengorbankan hak hidup rakyat yang juga mengakibatkan tidak
seimbangnya lingkungan sekitar dan menyebabkan bencana alam seperti banjir,
tanah longsor dll. Organisasi tani, pemuda, mahasiswa jangan dipandang sebagai
organisasi formal yang tidak berkontribusi terhadap corak produksinya, tapi
sebagai upaya memberikan ruang demokratis bagi rakyat agar dapat berpartisipasi
aktif dalam tatakelola lingkungan, produksi dan pembangunan agraria.
Sejatinya,
partisipasi aktif masyarakat dalam tatakelola produksi dan penguasaan agraria
merupakan hal mutlak, sebab Dana Mbojo
adalah milik seluruh rakyat itu sendiri dan dikelola untuk kesejahteraan
rakyat. Jangan sampai pembangunan dan pengelolaan agraria hanya menyisakan
bencana bagi rakyat akibat kesalahan tata kelola yang berorintasi profit dan
dari sisi estetika semata tanpa merasakan sedikitpun hasil alam yang melimpah.
Karena kekayaan alam dan kelestarian lingkungan harus bisa dirasakan juga oleh
generasi kedepannya.(Red)
0 Comments