1. SEPATAH KATA DARI PENERBIT

    P A R I - Partai Republik Indonesia: "Was It The Sol Golden Bridge To The Republic Indonesia", karya Mrs. Helen Jervis, Director of Bisa Departement of Indonesian and Malayan studies The University of SydneySydneyq pemintaan kawan-kawan terutama dari Keluarga Besar Murba. Mudah-mudahan atas terbitnya buku ini akan menambah ilmu pengetahuan terutama segi sejarah yang sebenarnya karena peranan-peranan almarhum Tan Malaka - Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Demikianlah sepatah kata dari kami agar pembaca yang budiman memaklumi.

    Jakarta, 1 Oktober 1987
    YAYASAN MASSA

    Alamat
    Jalan Damai No. 3
    RT.007 RW.05 - Pejaten Timur
    Jakarta Selatan - 12510
    Telp. 7997660.-

     KATA PENGANTAR I

    Dari "Menuju Republik Indonesia – 1925 
    ke
    Thesis "Aslia" – 1945

    "Tan Malaka (1897 - 1949) memegang peran besar dalam sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia pada masa paruh pertama abad ini. Tentang fakta ini terdapat sedikit saja perbedaan antara para ilmuwan yang telah menulis tentang masalah ini". Demikian tulis Harry Albert Poeze dalam disertasi akademis untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu Sosial pada Universitas Amsterdam, yang diajukannya 12 Maret 1976. ("TAN MALAKA, Levensloop van 1897 tot 1945", diterbitkan oleh B.V. De Nederlandsche Boek – en Steendrukkerij v/h H.L., 's-Gravenhage. Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kabul Dewani, bisa diperoleh melalui Yayasan Massa, Jakarta). 

    "Saya bermaksud untuk menerbitkan dalam waktu singkat jilid kedua, yang akan melukiskan kehidupan Tan Malaka dari tahun 1945 sampai meninggalnya karena perbuatan kekerasan pada tahun 1949" tulis Dr. Poeze dalam prakata skripsinya tersebut. Kita menyatakan hormat kepada upaya sarjana Belanda ini yang mengangkat riwayat hidup seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang paling kontroversial ini ke atas permukaan secara ilmiah dan lengkap. 

    Karena ilmiah itu melengkapi otobiografi yang ditulis Tan Malaka sendiri, ialah "Dari Penjara ke Penjara" (bisa diperoleh pada Yayasan Masa). Dan tulisan Prof. Moh. Yamin, ahli hukum dan ahli sejarah Indonesia terkemuka, "Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia" (Badan Penerbit Nasional “Bapenas", Kudus 1946). 

    Sebelum Partai-Partai Nasionalis lahir, yang dimulai dengan pembentukan PNI oleh Soekarno dan kawan-kawan, (4 Juli 1927) yang kemudian disusul dengan yang lain-lain dalam 1924 Tan Malaka telah menulis karyanya "Menuju Republik Indonesia".

    Sementara ahli politik dan sejarah berpendapat bahwa Tan Malaka termasuk tokoh politik yang lahir sebelum zamannya. Dia adalah seorang pemikir, ahli filsafat dan teori yang berpikir jauh ke depan mungkin dengan istilah sekarang dapat disebut "futurist", katakanlah seorang "peramal ilmiah".

    Sedangkan pemimpin-pemimpin lain masih samar-samar mengenai tujuan Perjuangan Nasional, misalnya PNI 1927 merumuskan "untuk memperkuat perasaan Nasionalisme dan Indonesia", Tan Malaka sudah mengajukan thesisnya: "Menuju Republik Indonesia", tiga tahun sebelumnya (1924). 

    Kemudian sampai di tangan kita sebuah naskah yang kita terjemahkan disini -- berjudul "PARTAI REPUBLIK INDONESIA (PARI), JEMBATAN EMAS TUNGGAL MENUJU KE REPUBLIK INDONESIA" -- tulisan Helen Jarvis, ahli sejarah dari Sydney University, yang disampaikan kepada Konferensi ke-8 Himpunan Internasional Ahli Sejarah Asia, diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, Agustus 1980. 

    Secara ilmiah disusunnya latar belakang sejarah kelahiran PARI dan perkembangannya, dilengkapi dengan Anggaran Dasar dan ikhtisar Manifestonya. Sekalipun ringkas, tapi naskah ini bersifat mendasar mendalam dan menyeluruh, hingga dapat memberi gambaran jelas mengenai PARI, yang merupakan salah satu bagian kegiatan Perjuangan Tan Malaka dan kawan-kawan. Yang rahasia selama ini. Untuk rincian dan kelengkapan juga ditunjukkan kepada sejumlah karya penulis-penulis lain yang cukup representatif. 

    KATA PENGANTAR II

    Helen Jarvis cukup mengenal Indonesia dan tokoh-tokohnya, karena sering datang ke Indonesia melakukan penelitian dan wawancara dengan banyak tokoh. Dia sedang menyelesaikan terjemahan dan pemberian catatan dalam bahasa Inggris, otobiografi Tan Malaka, "Dari Penjara ke Penjara".

    Secara obyektif Helen Jarvis dalam naskahnya itu berusaha merekonstruksikan kesimpulan dan pernilaian pengaruh PARI terhadap Perjuangan Kemerdekaan Nasional -- dan Sosial -- Indonesia, melalui gagasan-gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, yang selalu diusahakan dikirimkan Tan Malaka kepada pemimpin-pemimpin Indonesia dari tempat persembunyiannya, antara lain kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Juga melalui kegiatan "agen-agen" PARI yang beroperasi secara rahasia di dalam dan di sekitar Partai-Partai Nasionalis yang ada, selama 1927-1937 (kurang lebih) -- ialah selama PARI dapat terus melakukan kegiatan gelap menghadapi dan mengatasi penindasan penguasa Belanda, bahkan Inggris dan Amerika Serikat (di daerah koloni Inggris -- Singapura dan Hongkong -- serta di Filipina) menjelang meletusnya Perang Dunia ke-II.

    Sejarah Proklamasi Republik Indonesia dengan Peristiwa Rengas Dengklok-nya memberi petunjuk peranan pendorong dan pendobrak "agen-agen" PARI, menjelang Hari Proklamasi 17 Agustus 1945. Surat Wasiat Presiden Soekarno yang semula diberikan hanya kepada Tan Malaka sebagai pengganti Pimpinan Revolusi, jika Bung Karno dan kawan-kawan berhalangan -- tapi kemudian atas saran Mohammad Hatta ditambahkan dengan nama beberapa tokoh lain -- merupakan bukti lain pengaruh operasi PARI -- yang disambung dengan pertemuan langsung Soekarno - Tan Malaka - 1945 - terhadap perkembangan keadaan waktu itu.

     Puncak dari semua itu adalah pembentukan Persatuan Perjuangan, Januari 1946 atas prakarsa Tan Malaka dan kawan-kawan. Dengan provokasi 3 Juli 1946 dan 1001 macam kelicikan lain dan tidak konsekuennya sikap dan tindakan sebagian besar tokoh yang semula mendukung Persatuan Perjuangan yang beranggotakan 141 organisasi politik, Massa, kelasykaran, dan lain-lainl itu, akhirnya Front Persatuan ini berantakan dan menanglah politik diplomasi berunding yang membuahkan Linggarjati 1947, Renville 1948, Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun, September 1948 dan KMB Desember 1949 yang menghasilkan dikuburnya UUD RI 1945. Terbentuknya Persatuan Perjuangan itu sendiri merupakan bukti nyata pengaruh operasi PARI, Tan Malaka dan kawan-kawan setelah tampil sendiri secara terbuka sejak 1945.

    Atas prakarsa Tan Malaka -- setelah di keluarkan dari penjara RI tanpa pernah diadili, akhir 1948, dibentuk Partai Murba, 7 November 1948 di Yogjakarta, untuk mengumpulkan unsur-unsur yang masih setia dan konsekuen dengan haluan Persatuan Perjuangan. Juga prakarsa Kongres Rakyat, Desember 1948 di Yogyakarta -- yang tak jadi dapat diadakan, karena keburu serangan militer ke-II Belanda – yang sedianya merupakan upaya pengumpulan mempersatukan semua kekuatan Nasional yang menentang arah politik likuidasi UUD RI 1945 di atas ini.

    Beberapa data yang diungkapkan di atas itu membuktikan kebenaran simpulan Dr. Poeze, bahwa Tan Malaka memegang peran besar dalam sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia pada masa separuh pertama abad ke-20 ini.

    Untuk kesekian kalinya Tan Malaka mengajukan gagasan jauh mendahului zamannya. Tahun 1924 sudah ditulisnya "Menuju Republik Indonesia", dan setelah dikeluarkannya Manifesto Bangkok 1927, maka dibentuklah "Partai Republik Indonesia".

    Ketika tanggal 7 September 1945 Tan Malaka mengeluarkan MANIFESTO PARI JAKARTA, 1 September 1945, dia mengajukan tesis masa depan baru lagi: ASLIA. Sayang sekali naskah asli konsep Aslia ini hilang dalam pergolakan kegiatan Revolusi 1945, hingga yang dapat kita rekonstruksi hanyalah pikiran dasar dan pokoknya saja.

    Pikiran dasar dan pokok itu adalah sebagai berikut: Perdamaian dunia tak dapat kekal kalau dipegang hanya oleh tiga atau empat negara besar saja. Selama disampingnya masih ada bangsa yang dijajah, langsung atau tidak langsung dan banyak negara kecil yang terdapat di luar gabungan besar.

    Dunia sebaiknya dibagi menjadi 8 sampai 10 gabungan raksasa, masing-masing meliputi satu kesatuan besar regional, yang kurang lebih merupakan satu kesatuan geografis dan geopolitis; dibentuk oleh latar belakang sejarah yang sama; mendapatkan sumber alam dan bahan lainnya yang cukup buat kepentingan diri sendiri, hingga mampu berdiri sendiri dalam ekonomi. 

    Jago atau anjing besar jarang berkelahi dengan lawannya yang sama besarnya. Delapan atau sepuluh gabungan raksasa yang dimaksudkan, kurang lebih meliputi : Amerika Serikat dan Kanada; Tiongkok/(dan Jepang?); Uni Sovyet; Eropa Barat/(dan Timur?) Indo-Iran (Hindustan dan Iran); Afrika (mungkin 2 gabungan); Amerika Selatan. 

    Satu diantaranya:  ASLIA -- (sebagian dari) Asia (Selatan dan Tengah) dan (sebagian dari) Australia (Australia beriklim panas, yang dipisahkan dengan Australia beriklim dingin oleh gurun pasir luas). Konkritnya: Burma, Thailand, Annam (ketiga negara Indochina?), Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Papua New Guanea, Australia yang beriklim panas (lebih kurang meliputi 1/3 Australia sebelah barat dan utara). 

    Daerah Aslia diliputi dengan iklim serupa, ialah panas, yang dikendalikan oleh gerakan angin yang tetap teratur, ialah musim yang termasyhur itu. Latar belakang sejarah juga serupa, tata Sosial, kejiwaan (paham keagamaan dan perasaan), hasrat atau pun impian yang tiada berapa besar bedanya satu sama lain.

    Pada dasarnya dan dalam garis besarnya seluruh ASLIA dalam segala cabang penghidupan berada dalam keadaan yang kurang lebih bersamaan dan menghadapi suasana dan keadaan dunia luar yang melahirkan kebutuhan akan penggabungan.

    Jadi hanya Badan Internasional sedunia yang terdiri dari gabungan-gabungan Raksasa seperti diatas, yang berdasarkan Kemerdekaan, persamaan dan bisa berdikari dalam ekonomi, yang sebaik-baiknya bisa menjamin perdamaian kekal, ketimbang dengan bentuk dan jenis Badan Internasional yang lain yang bagaimana pun.

    Demikian tesis yang diajukan Tan Malaka tahun 1945. Jika kita melihat ke seluruh dunia sejak 1945 hingga sekarang tampak beberapa perkembangan yang perlu dicatat. Sejak Perang Dunia II berakhir, dunia belum pernah mengenal perdamaian, melainkan selalu diguncang perang dan keributan regional dan lokal. PBB tampak tidak berdaya menghadapi semuanya itu. Blok Barat, Blok Timur maupun Non Blok, baik dalam blok masing-masing, maupun antar blok, hampir selalu dilanda perbedaan, pertentangan, bahkan perang regional dan lokal. 

    Sudah lama didengungkan kebutuhan tatanan dunia baru, baik dalam arti politik, ekonomi, Sosial dan lain-lain. Karena dorongan kebutuhan nyata sudah banyak dibentuk Persatuan-Persatuan regional, seperti Masyarakat Ekonomi Eropah, Organisasi Persatuan Afrika, ASEAN, Persatuan Negara-Negara Asia Selatan, dan lain-lain. 

    Apakah perkembangan berikutnya akan mengarah kepada pembentukan Gabungan-gabungan Raksasa seperti yang di-tesiskan Tan Malaka itu? 

    Sejarah yang akan membuktikan itu.

    Riwayat hidup Tan Malaka yang dapat dikatakan tragis itu, rupanya merupakan konsekuensi tokoh pemikir yang dilahirkan sebelum zamannya. Masyarakat belum dapat mengikuti pemikirannya. Hingga dengan mudah saja seorang Tan Malaka akan dicap sebagai "revisionis", "pengacau" dan gelar-gelar sebutan yang negatif dan destruktif, yang sebenarnya merupakan cetusan emosional akibat salah paham atau kurang memahami. 

    Setelah pulang dari Belanda tahun 1921 berangkat ke Semarang, aktif dalam pendidikan dan politik, belum cukup setahun sudah ditangkap dan dibuang oleh penguasa Hindia Belanda. Tahun 1942 menyelundup masuk kembali ke Indonesia. Sekitar Proklamasi Agustus 1945 mulai memperlihatkan diri keluar dari kegiatan bawah tanah di Jakarta. Juli 1946 -- belum cukup setahun aktif terbuka -- sudah kena provokasi, dijebloskan ke dalam tahanan Republik Indonesia selama 24 tahun sampai menjelang akhir 1948. Tanpa pernah diadili, setelah timbul Pemberontakan PKI September 1948 di Madiun, baru Tan Malaka dan kawan-kawan dikeluarkan dari penjara. Dan baru aktif belum lagi setengah tahun – di tengah-tengah kegiatan ikut bergerilya di Jawa Timur – Februari 1949 sudah hilang tak tentu rimbanya dan mati tak tentu kuburnya karena tangan-tangan gelap yang tidak bertanggung jawab.

    Namun ini tidak berarti bahwa gagasan yang ditinggalkannya juga ikut hilang. Para ilmuwan luar negeri dan kaum terpelajar maupun angkatan muda di dalam negeri beberapa tahun belakangan ini menunjukkan minat untuk mengetahui secara ilmiah bagaimana sebenarnya warisan pemikiran Tan Malaka itu.

    Untuk menyambut kecenderungan itu kita semua sebaiknya bersifat terbuka. Membuka diri untuk berdialog, mendengarkan pendapat yang mungkin berbeda. 

    Bukankah Demokrasi Pancasila membuka jalan untuk perbedaan pendapat yang bersifat positip dan konstruktif untuk kepentingan dan kebaikan bersama?

    Jakarta, 17 September 1987

    Penterjemah,
    WASID SUWARTO, ex-KETUA UMUM
    Partai MURBA Kongres ke-V dan
    ex-ANGGOTA DPA Republik Indonesia
      
    *************************************************************


    UNIVERSITAS JAMES COOK
    NORTH QUEENSLAND 1981

                     Helen, Jarvis
    Partai Republik Indonesia (PARI)
    Berdasarkan naskah yang diberikan pada
    Konferensi ke-8 Himpunan Internasional Ahli Sejarah Asia.

    Memasukkan referensi bibliografi:
    1. Partai Republik Indonesia - Sejarah
    2. Nasionalisme - Indonesia – Sejarah
    3. Indonesia - Politik dan Pemerintah – Abad ke-20

    I. Universitas James Cook North Quensland
    Komisi Studi Asia Tenggara.
    II. Judul (Seri Terbitan Tak berkala (Universitas James Cook North Queensland. Komisi Studi Asia Tenggara) No. 11)

    Permulaan 1927 menyaksikan kehancuran pertama Partai Komunis Indonesia -- PKI -- segera setelah gagalnya Pemberontakan Desember 1926 - Januari 1927. Beberapa oknum dihukum mati, 13.000 orang ditangkap, dan 1.308 tersangka Komunis dan keluarga mereka dikirim ke Boven Digul, kamp pembuangan di Irian Jaya (1). PKI permulaan 1920-an hancur lebur, karena aktivis mereka yang tidak dihukum mati atau ditangkap, mengasingkan diri atau lari dalam pembuangan. Kekosongan yang ditinggalkan oleh hilangnya PKI dari pemandangan politik Indonesia segera diisi oleh golongan Nasionalis non-Komunis. Tanggal. 4 Juli 1927 Sukarno termasuk pendiri Perserikatan Nasionalis Indonesia – PNI -- di Bandung. Sementara itu di negeri Belanda, Hatta memperjuangkan Indonesische Nationalistische Volkspartij -- INV -- atau Partai Rakyat Nasional Indonesia yang rencana pendiriannya pertengahan 1927 menjadi gagal karena pembersihan (2) dan penangkapan Hatta dan tokoh-tokoh lain. Analisa mengenai dua arus ini berada di luar jangkauan tulisan ini. Cukup kiranya dikatakan disini bahwa keduanya mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan mereka dengan tajam dari Partai politik Indonesia lain yang didirikan di Bangkok tanggal 1 Juni 1927 oleh tiga tokoh pelarian bekas PKI – Tan Malaka, Djamaluddin Tamim dan Subakat. 

    Tan Malaka pernah menjadi ketua PKI dari Desember 1921 sampai penangkapannya tanggal 13 Februari 1922 dan kemudian pembuangannya ke negeri Belanda beberapa lama sebelum Pemberontakan 1926-1927. Ketika Februari 1926 di Manila, dia mendengar rencana Pemberontakan PKI, dia segera menulis "Thesis" menentang rencana tersebut. Tapi baru Mei 1926 pemimpin-pemimpin lain Partai di Singapura akhirnya mendengar tentang tentangan Tan Malaka, dan bahkan sejak lebih lama sebelumnya telah dirembeskan kembali ke cabang-cabang PKI di Indonesia yang mendapat oposisi keras dari pihak Pimpinan PKI, yang kebanyakan menganggap penolakan Tan Malaka sebagai sabotase. Memang, Tan Malaka tidak merasa puas dengan hanya duduk berpangku tangan saja dan menyaksikan Partai melaksanakan apa yang dia yakini sebagai haluan petualangan yang salah. Dia melakukan polemik keras dan berhasil meyakinkan sejumlah kader PKI dan menarik mereka ke pihaknya, yang kemudian mengelilingi cabang-cabang PKI menentang Pemberontakan.

    Djamaluddin Tamim adalah Pimpinan Partai di Padang Panjang, Sumatera Barat, sebelum ditangkap karena melanggar Undang-undang Pers, Desember 1923. Dia melarikan diri dari tahanan. September 1925 dan mengadakan hubungan dengan cabang-cabang PKI di Jawa sebelum dikirimkan ke Sumatra untuk mempersiapkan Pemberontakan. Keraguannya akan kemampuan PKI melakukan Pemberontakan diperkuat ketika dia berjumpa Tan Malaka di Singapura, Juni 1926, dan dia kembali ke Sumatra untuk menentang usaha Pemberontakan. (4) Subakat sebagai guru Sekolah Rakyat di Bandung sebelum masuk PKI. Kemudian dia menjadi redaktur surat kabar PKI Semarang, Api. Dia meninggalkan Jawa menuju Singapura pertengahan 1925 dan hidup di sana sebagai bagian pusat untuk kegiatan PKI dalam pengasingan ketika Tan Malaka tiba, Mei 1926. Dengan cepat Subakat dapat diyakinkan untuk memihak kepada pandangan Tan Malaka.

    (5) Tan Malaka dan Subakat bertolak ke Bangkok, Desember 1926 dan melalui laporan teratur dari Singapura, berupaya menilai situasi.

    Djamaluddin Tamim tetap berada di Singapura, membantu orang-orang PKI yang berhasil melarikan diri dari Indonesia dan mengumpulkan informasi tentang luasnya kerusakan yang diderita Partai. Mei 1927 Djamaluddin Tamim menyusul ke Bangkok dan tanggal 2 Juni 1927 ketiga orang pelarian PKI itu mendirikan PARI. (6) 

    Sifat PARI yang tepat dan para pendirinya itu sebenarnya diselubungi kesimpangsiuran. Kebanyakan sejarah masa (1927) itu lalai menyebut PARI atau sekedar hanya mencantumkan tanggal dan tempat pendiriannya saja.

    Hampir tidak ada sedikitpun bukti yang asli tertinggal, dan orang harus merekonstruksi dari laporan sekarang, dari sumber asli (kebanyakan oleh pengamat yang bersikap memusuhi) dan dari ingatan belakangan para peserta, terutama bertujuan ke arah penguraian dengan cara yang dapat diterima setelah peristiwanya mengenai kegiatan serta perkembangan politik kemudian. PARI disajikan sebagai putus sama sekali dari Komunisme di satu pihak dan sebagai kelahiran kembali dari PKI yang hancur lebur di pihak lain.

    Dalam riwayat hidup yang ditulis Tan Malaka berbicara mengenai PARI dengan nada yang sangat berhati-hati :

    Kini, dua puluh tahun kemudian, akibat Aksi yang kami lakukan bertiga di Bangkok jelas bagi kita semua. Kita menghendaki melihat kesinambungan dalam gerakan Rakyat dan Pekerja Indonesia melalui waktu yang sangat sukar. Kita merasa bahwa kesinambungan ini dapat terjamin sebaik-baiknya dengan pertama-tama bersandar kepada kekuatan sendiri, dan kedua dengan berbaris bebas tapi berhaluan sejajar dengan gerakan Proletar Internasional (getrentmarschieren vereint schlagen)………. Kini masih belum waktunya untuk mengungkapkan secara lebih terinci peranan yang dimainkan PARI dari 1927 sampai 1947. 

    Dalam 1967 Djamaluddin Tamim memberikan pandangannya:

    Tujuan utama kita mendirikan PARI sudah pasti adalah menciptakan alat, "Jembatan Emas Tunggal" untuk mencapai negara Republik Indonesia yang Merdeka 100%, untuk membuktikan garis Tan Malaka Juni 1924 yang diuraikan dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). (9)

    Pada sebelah lain pagar serangan keras terhadap PARI dimasukkan dalam selebaran anti Tan  Malaka yang disiarkan dalam 1947 oleh Sakirman, yang sebelumnya menjadi anggota Pimpinan Persatuan Perjuangan Tan Malaka, tapi waktu itu sudah masuk PKI dan menjadi pemimpin parlemen dan anggota Politbiro Partai ini selama 1950-an. (10) Sakirman menyatakan:

    Tiap organisasi yang bertujuan mendirikan masyarakat Sosialis dan yang menentang garis Perjuangan dan organisasi Komintern adalah musuh Soviet Rusia. Tidak menjadi masalah apakah organisasi seperti itu…… Secara curang memakai nama "Komunis" ....... Tujuan dan haluan Perjuangan PARI bertentangan dengan Marxisme –Leninisme. (11) 

    Pandangan yang berlawanan itu tidak memberi keterangan tentang sifat PARI, yang paling baik dapat dilihat dari memperhatikan sedikit bahan dokumen dewasa ini yang masih tinggal dalam arsip Belanda. Kedua dokumen utama untuk menganalisa PARI (Anggaran Dasar dan Manifesto PARI) disita dari Subakat, ketika dia ditangkap di Bangkok, September 1929; kedua dokumen ini dikirimkan kepada yang berwajib di negeri Belanda oleh Dinas Intelijen Hindia Belanda. (12) 

    Manifesto itu disusun di Bangkok menjelang pendirian PARI, tampaknya disusun Tan Malaka dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan Subakat. (13) Tidak ada salinan versi asli Manifesto yang masih tinggal, dan yang ada pada kita hanyalah ringkasan revisi Manifesto Mei 1929. Versi ini dibuat Tan Malaka di Amoy dan diketik serta dibawa kembali ke Indonesia oleh Mardjono, seorang aktivis PARI, (14) yang mengunjungi Tan Malaka di sana Juni 1929, tapi nama-nama yang tercantum pada dokumen itu adalah Nadir dan Goenadhi (Tan Malaka dan Subakat).

    Yang terutama disayangkan adalah bahwa dokumen penting ini adanya hanyalah dalam bentuk ikhtisar saja, dikurangi dari 30 menjadi 19 halaman oleh seorang pejabat intelijen Belanda. Revisi 1929 pasti merupakan penulisan kembali versi aslinya, karena dokumen itu tampaknya berisi kupasan situasi gerakan Komunis dunia dan keadaan Partai Komunis Uni Soviet berdasarkan terjemahan bahasa Inggris Max Eastman tulisan Leon Trotsky, The Real Situation in Russia, yang tidak diterbitkan sampai 1928 di New York dan London. (15) Sebenarnya tidak mungkin bahwa Manifesto 1927 yang asli dapat banyak berkata tentang masalah ini yang mengisi sebagian besar dokumen yang direvisi, sekalipun bagian-bagian mengenai kelemahan Pimpinan dan susunan PKI dan kesalahan-kesalahan 1926-1927 yang merupakan bagian besar isi dokumen tak diragukan diambil dari Manifesto bali. Anggaran Dasar PARI terdapat lengkap dalam arsip Belanda dengan naskah dalam bahasa Belanda dan Indonesia. Menurut Anggaran Dasar ini tujuan PARI adalah:

    Untuk mencapai Kemerdekaan penuh dan sempurna bagi Indonesia selekas mungkin dan setelah itu mendirikan Federasi Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kondisi ekonomi, Sosial dan politik negeri ini, dengan adat istiadat dan watak penduduknya dan yang selanjutnya dimaksudkan memajukan kesejahteraan jasmani dan rohani Rakyat Indonesia. (16) 

    Pernyataan tujuan ini bersifat Nasionalis dan tidak memberi dukungan terbuka kepada Sosialisme atau Komunisme. Sifat negara tidak diuraikan lebih lanjut kecuali dengan gambaran umum saja; jika kita menengok ke belakang yang patut dicatat adalah prinsip federasi yang diajukannya, tapi kurang sekali dalam ketentuan-ketentuan ekonomi dan politik. Tapi struktur Partai yang diuraikan lebih lanjut dalam Anggaran Dasar itu mengikuti model Sentralisme Demokrasi, yang pada umumnya dihubungkan dengan Partai Komunis, dengan anggota diberi kebebasan berdiskusi dan meyakinkan keputusan diambil, tapi setelah itu diwajibkan bekerja melaksanakan keputusan yang telah diambil, tanpa memperhatikan apakah anggota bersangkutan menentang atau mendukung garis yang diputuskan itu. 

    Pasal 4 Anggaran Dasar membatasi keanggotaan Partai bagi mereka yang berusia 29 tahun (17) (= ini tampaknya salah ketik, mestinya 19 tahun, H.J.) atau lebih, sehat lahir dan batin, melek huruf (18) dan yang selama masa percobaan sebagai calon anggota menunjukkan persetujuan kepada Anggaran Dasar, program dan Manifesto Partai". Kewajiban anggota dirinci, seperti melaksanakan tugas Partai, membayar iuran sebanyak kurang lebih Rp. 1,- sebulan, membela Partai dan berdiri diatas prinsip Partai; bertingkah laku bersahabat, menunjukkan tanggung jawab terhadap dana Partai, berkelakuan baik dan mendengarkan baik-baik, menambah pengetahuan dengan membaca, dan lain-lain; menghormati asal suku, sikap dan keyakinan orang lain dan akhirnya, menghormati wanita lebih dari pria (Pasal 5).

    Susunan Partai menentukan (Pasal 8) bahwa Kongres tahunan merupakan kekuasaan tertinggi. Kongres memilih Komite Pelaksana Pusat (Central Executive Committee - CEC - yang melaksanakan Pimpinan Partai antara dua Kongres. CEC terdiri dari tiga orang dan mempunyai hak eksklusif untuk mendirikan cabang/seksi (masing-masing beranggotakan 5 orang atau lebih di suatu tempat); mengangkat separuh jumlah Pimpinan cabang/seksi; dan merubah, - jika perlu, keputusan intern hari-hari yang dibuat cabang/seksi. Pasal 3 menetapkan bahwa PARI akan:

    Mendirikan atau menyokong organisasi Buruh, Tani, Pelajar, Wanita dan Pemuda, dan juga perkumpulan non-Proletar, hingga jika timbul krisis ekonomi dan politik, bersama-sama dengan organisasi-organisasi seperti itu, PARI dapat menjadi barisan Kekuatan dalam Perjuangan Kemerdekaan, siap untuk menarik dan memimpin Rakyat Indonesia dalam Massa Aksi, kian meningkat dalam frekuensi dan jangkauan sampai tujuan PARI tercapai. 

    Pasal 1 Anggaran Dasar menegaskan bahwa PARI harus bebas dari "Pimpinan atau pengaruh dari Partai atau kekuatan lain yang mana saja, baik di dalam maupun di luar Indonesia". Sedangkan rumusan ini jelas merupakan bantahan terhadap dominasi dari Moskow waktu itu, Komintern merosot berada di bawah kekuasaan Moskow dalam anggaran Dasar PARI tidak disinggung-singgung tentang Komunisme, Sosialisme, PKI atau gerakan Komunis dunia. Pada pihak lain Manifesto PARI memusatkan perhatian kepada analisa kesalahan PKI 1926-1927 dan kegagalan Komintern memberi Pimpinan kepada gerakan Komunis dunia. Manifesto itu merincikan peristiwa-peristiwa yang menuju ke Pemberontakan 1926-1927 dan upaya Tan Malaka membalikkan strategi petualangan yang dalam garis besar diputuskan di Prambanan pada Malam Natal 1925. Halaman pertama Manifesto, menurut ikhtisar Belanda, menyatakan bahwa:

    Mempunyai arti penting terbesar bagi seluruh Rakyat Indonesia apabila para Pejuang Kemerdekaan Nasional dan Sosial mendapatkan kejelasan mengenai keruntuhan PKI yang memalukan. 

    Manifesto menyimpulkan bahwa sebuah Partai baru harus dibentuk segera setelah PKI hancur. Terdapat "kekurangan serius" untuk mendirikan kembali PKI (sekalipun kekurangan itu tidak diuraikan dalam ikhtisar) dan PARI dianggap sebagai pengganti baru PKI. Mengenai sifat PARI, Manifesto menegaskan lebih jauh dari pada tujuan yang dalam garis besar dicantumkan dalam Anggaran Dasar, melukiskan Partai sebagai "Proletaris Revolusioner", tapi didirikan "semata-mata untuk kepentingan Indonesia". 

    Analisa kesalahan Pimpinan Internasionale Ketiga, khususnya mengenai Cina yang terdapat dalam Manifesto mempunyai arti penting, karena otobiografi Tan Malaka sangat lemah dalam hal ini. Tan Malaka rupanya memandang pengalaman Cina sebagai pola yang akan diikuti Indonesia, jika hubungan dengan Komintern tidak diputuskan:

    Stalin akan mengirimkan Borodin-Borodinnya, van Galen - van Galennya, Cheka-nya, penasehat-penasehat militer dan penasehat lainnya yang tiada terbilang banyaknya ke Indonesia yang Revolusioner. Internasionale Ketiga tidak akan dapat mengatakan apapun mengenai pilihan oknum dan segala-galanya akan dirahasiakan bagi badan ini. Akan menguntungkan kepentingan imperialisme dan bukannya kepentingan Indonesia, jika Stalin hendak membuat dirinya sendiri penguasa gerakan Revolusioner yang dapat terjadi di Hindia Belanda.

    …… Kepemimpinan Moskow hanya baik untuk Rusia. Dengan contoh-contoh dari Jerman, Italia dan Bulgaria, telah diperagakan bahwa Pimpinan Moskow telah gagal bagi negara lain. Seluruh Internasionale Ketiga dibentuk demi kepentingan Rusia dan terutama paraPemimpin muda dari Timur akan cenderung beralih ke pemujaan buta dan kehilangan kebebasan mereka. Dengan akibat mereka akan kurang hubungan dengan Massa mereka sendiri yang mempunyai dorongan hati yang berbeda dengan Rakyat Rusia. 

    Sementara analisa Komintern dan birokrasi Moskow didasarkan kepada ulasan yang dikembangkan Trotsky, Tan Malaka menganggap perpecahan antara Stalin dan Trotsky sebagai sesuatu yang tak ada hubungannya dengan Indonesia:

    "Rakyat Indonesia cukup banyak yang harus kerjakan tanpa menunggu pengakhiran pertarungan antara Stalin dan Trotsky". 

    Sebelumnya perlu diingatkan kembali bahwa dalam1927 atau 1929 belum begitu jelas bahwa gerakan Komunis akan pecah secara pasti antara kedua golongan itu. 

    Sementara PARI mengecam peranan Internasionale Ketiga di Cina, sikapnya terhadap kebijakan 1917-1923 tidak jelas dan orang tidak dapat mengatakan, apakah kekurang-jelasan itu timbul dalam proses pengikhtisaran Belanda dari Manifesto PARI atau apakah memang terdapat dalam dokumen aslinya. Pada satu pihak Manifesto menyatakan:

    Dalam tahun-tahun 1917-1923 kekacauan demikian merajalela hingga runtuhnya kapitalisme dunia menjadi paling mungkin. 

    Sementara itu lebih lanjut Manifesto menyatakan:

    PARI adalah Partai Proletariat Revolusioner yang tidak dapat bergabung dalam Aksi-Aksi Moskow dan Internasionale Ketiga, dalam hal mereka bertujuan mengorganisasi Revolusi dunia dalam tahun 1918-1923. 

    Apakah ini berarti bahwa PARI, sebuah “Partai Proletariat Revolusioner" menentang politik Revolusioner yang dilaksanakan dalam situasi meruntuhnya kapitalisme yang akan datang? Nada Manifesto sebagai keseluruhan lebih mengisyaratkan bahwa PARI memutuskan diri dengan Komintern justru karena badan ini mengkhianati kepentingan Revolusi dunia, demi kepentingan sempit Uni Soviet dan birokrasi itu sendiri. Manifesto menyimpulkan dengan pernyataan yang jelas:

    Para penulis Manifesto ini menganggap diri mereka sendiri sebagai Internasionalis dan menghendaki tetap demikian, tapi mereka berbeda dengan Internasionale Ketiga dalam pendapat mereka mengenai jalan untuk mencapai tujuan akhir -- bukan dari atas ke bawah, tapi sebaliknya ...... penggabungan dengan satu atau lain badan Internasional merupakan masalah "masa depan". 

    Dalam PARI kita melihat kesimpangsiuran mengenai sifat suatu Partai Revolusioner yang akan tetap merupakan kelemahan terbesar Tan Malaka. Dia tampaknya tidak dapat membedakan susunan dan fungsi suatu Partai Revolusioner dalam arti Leninis dengan susunan dan fungsi Front Persatuan yang diarahkan mencapai tujuan khusus. Kurang kejelasan dalam hal ini akan mempercepat kematian Persatuan Perjuangan dalam 1946, tapi akar-akarnya telah muncul dalam PARI sudah sejak 1927. 

    PARI dalam PRAKTEK 

    Susunan PARI sebagaimana direncanakan dalam Anggaran Dasar dirancang untuk operasi di bawah kondisi legal/terbuka, dengan ketentuan adanya rapat-rapat teratur, kongres dan sejenisnya dan pertukaran bebas gagasan tentang politik yang harus diperjuangkan Partai. Tapi kenyataannya adalah bahwa PARI lahir ada di bawah ancaman pengejaran segera dan tidak pernah sanggup menyusun diri sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasarnya. 

    Ketiga orang anggota pendiri PARI merupakan Central Executive Committe-nya. (20) Subakat tetap berada di Bangkok. Djamaluddin Tamim kembali ke Singapura dan Tan Malaka kembali ke Manila. Pemencaran Pimpinan pusat ini disebabkan kebutuhan mereka yang amat mendesak untuk menghindari penangkapan dan menemukan suatu tempat aman untuk bertempat tinggal dan bisa bertahan hidup. Tan Malaka di percaya telah menemukan tempat seperti itu di Manila, tapi ternyata ditangkap dalam beberapa hari saja setibanya dari Bangkok Agustus 1927. Dia dibuang ke Cina dan dari sana selanjutnya dapat memelihara hubungan hanya antara sebentar dengan teman-temannya PARI. Subakat yang berhasil mendapatkan Pekerjaan di Bangkok, merasa cukup aman untuk tetap tinggal itu, dan dapat aktif selama dua tahun sampai tertangkap dalam 1929. Djamaluddin Tamim menemukan tempat yang cocok di Singapura, dari mana dia dapat memelihara hubungan dengan Indonesia dan mengadakan kontak dengan bekas-bekas anggota PKI yang berhasil melarikan diri sampai dia ditangkap dalam 1932. (21)

    Dalam keadaan bahaya seperti itu sikap berhati-hati menguasai kegiatan Partai. Sesuai dengan itu struktur Anggaran Dasar (meliputi keanggotaan terbuka, pemilihan pengurus, kursus pendidikan, surat kabar dan diskusi, bulletin, pun kongres tahunan) tidak pernah dilaksanakan. Sebaliknya struktur sel bawah tanah klasik merupakan basis Partai. Dalam susunan sel seperti itu tiap anggota hanya mengenal sesama anggota dalam selnya sendiri saja dan informasi diteruskan kembali melalui wakil ke ketua wakil dan kepada Pimpinan pusat. Tentu saja struktur seperti itu sebenarnya tidak mempunyai unsur demokrasi, tapi bagian sentralisme yang berat karena instruksi disalurkan dari arah terbalik, dari atas ke bawah, melalui rantai susunan dan dilaksanakan sel tanpa pengetahuan bagaimana perintah itu dilaksanakan di tempat lain atau bagaimana pemandangan anggota Partai lainnya.

    Dari Singapura, Djamaluddin Tamim dilaporkan sebagai ketua, wakil untuk Sumatra, dan Mardjono dari Banjarmasin sebagai ketua, wakil untuk Jawa. Tahun 1935 tampaknya PARI membagi Indonesia menjadi tujuh wilayah di Jawa (dengan pusat-pusat di Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya); Sumatera (berpusat di Sungai Gerong); Kalimantan (berpusat di Balikpapan) dan Sulawesi (dengan pusat direncanakan tapi belum didirikan di Ujungpandang). (23) Ke-enam wakil ini masing-masing membentuk sel-sel bersama tiga orang sub-wakil yang mengoperasi daerah yang dianggap strategis dalam arti politik, ekonomi atau militer. Menurut dugaan sel-sel PARI di-bentuk dalam lingkungan tentara, marine, polisi, perusahaan perkapalan dan dinas pelayanan pos, dalam departemen-departemen pemerintah dan ditempat-tempat kerja serta perkebunan-perkebunan penting.

    Mungkin gambaran luasnya operasi PARI di Indonesia dapat diperoleh dengan mendaftar tempat-tempat dimana orang ditangkap sebagai anggota PARI, sebagian terbesar diantaranya dibuang ke Boven Digul. Di Jawa: Solo, Cepu, Surabaya, Wonogiri, Kediri (25) dan Jakarta (26) dan di luar Jawa: Banjarmasin (27), Medan (28), Sungai Gerong (29) dan Riau (30).

    Beberapa upaya yang gagal pernah dilakukan untuk mengadakan kongres. Rencana pertama hendak diadakan September 1929. Surat menyurat PARI menyebut "Amoy" sebagai tempat kongres, tapi ini mungkin nama sandi untuk Singapura. (31) Diharapkan sepuluh sampai dua belas utusan akan menghadiri kongres tersebut, termasuk tiga dari Jawa, sampai tiga dari Sumatera dan tiga dari Pegak (Bangkok)? 

    Sumber-sumber Belanda memperkirakan kongres tidak jadi berlangsung karena para utusan tidak mempunyai paspor atau mereka tidak berani memintanya; atau karena kesulitan keuangan. (32)

    Kongres lain direncanakan diadakan Mei 1930 (33) tapi juga tidak jadi, dan penangkapan penting aktivis PARI bulan Agustus 1930 menghalangi lagi rencana itu. 

    Beberapa upaya dilakukan untuk mengatur wakil-wakil PARI melakukan perjalanan ke luar Indonesia mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin PARI di Singapura, Bangkok dan Amoy. Pada akhir 1929 Mardjono dan Sarosan mengunjungi Tan Malaka di Amoy, Djaos (Dawood) (36) menemuinya di Shanghai Juni 1932, sebelum mereka ditangkap di Hongkong Oktober tahun itu juga. Kemudian hubungan dengan Tan Malaka terputus, dan dia menyatakan tidak mempunyai kontak dengan teman-temannya dari Indonesia, Asia atau Eropa dari 1932 sampai 1935, selama dia hidup dalam pengasingan di Cina Selatan. (37) 

    Ketertutupan adalah ciri organisasi PARI. Sandi terperinci direncanakan untuk menyembunyikan nama orang dan tempat dan istilah politik. Penguasa Belanda berhasil menangkap banyak bahan surat menyurat, tapi mereka hanya dapat sebagian-sebagian saja dari sandi-sandinya, dan sering mendapatkan gambaran yang keliru mengenai PARI.

    Sebuah cara menyampaikan informasi dari luar negeri untuk para anggota PARI di Indonesia adalah dengan menyembunyikan surat dan dokumen di sebelah dalam lipatan surat kabar. Tan Malaka mengirimkan salinan brosur Semangat Moeda yang ditulisnya ke Singapura dan kepada Subakat di Bangkok dibungkus dalam lipatan sebelah dalam the North China Daily News. Jaringan kapal api pantai yang beroperasi melalui pulau-pulau Hindia Belanda dipergunakan PARI dan gerakan politik lainnya untuk mengirimkan informasi. PARI menaruh perhatian khusus untuk mendapatkan pelaut sebagai anggota yang bertugas sebagai kurir, (40) dan sistim ini berjalan sedikit teratur sekurang-kurangnya sampai pertengahan 1930-an. Tugas PARI pada awalnya adalah untuk membuka hubungan dengan sisa-sisa anggota PKI yang masih tinggal di Indonesia dan menilai situasi politik, terutama memperhitungkan kemungkinan membangkitkan kembali Aksi Massa menentang Belanda. 

    Para pendiri PARI menyambut sangat baik berita pendirian PNI bulan Juli 1927. Untuk sebuah kelompok propaganda kecil yang berpangkalan di luar negeri, dengan memilih alamiah (anggota PKI) hampir semuanya dibersihkan, bentukan seperti itu mungkin merupakan lapangan mendapatkan anggota yang paling subur. Utusan untuk melakukan penjajagan rupanya ada dikirimkan untuk mendekati Pimpinan PNI, (41). Dan di banyak daerah cabang PNI dipilih sebagai pusat yang paling mungkin bagi kegiatan PARI. Kemudian PNI Baru dan Partindo menjadi sasaran serupa. Taktik yang dilaksanakan terang menjadi aktif di cabang setempat, mendirikan organisasi luar dan menarik calon yang paling mungkin masuk PARI melalui kegiatan dalam kelompok lain itu.

    Di Palembang didirikan kelompok baca (42), - sedangkan di Surabaya dibentuk Sport Organisatie Indonesia, (43) 

    Tan Malaka menulis brosur berjudul "PARI dan intellectuil/Nasionalis” (44) yang pasti merincikan posisinya terhadap PNI, tapi sayang sekali tidak ada salinan karyanya ini yang tampaknya masih ada.

    Penerbitan PARI "Obor" terus tetap muncul mengatasi segala halangan, sekurang-kurangnya sampai 1936. (45) Pada mulanya siaran ini ditulis dengan tangan oleh Tan Malaka sendiri dan dikirimkan ke Indonesia untuk diperbanyak dan dibagikan, tapi kemudian siaran ini diterbitkan seluruhnya di Jakarta, (46) 

    Pengamanan sangat ketat dilakukan dalam membuat dan membagikan Obor. Tidak ada terbitan yang dicetak, tapi semuanya diperbanyak dengan ketikan atau tulisan tangan, dan anggota diperintahkan membakar semua siaran itu setelah membacanya. (47)

    Maka hampir tidak mengherankan bahwa tampaknya tidak ada nomer terbitan ini yang masih tinggal, sekalipun mungkin beberapa nomer masih terdapat dalam arsip Hindia-Belanda dulu di Bogor setelah diikuti saran untuk dikirim ke negeri Belanda. Pada saat ini kita hanya memiliki ringkasan-ringkasan ini untuk digarap. 

    Obor no.5 (Juni 1935) dalam sebuah laporan intelijen dilukiskan sebagai berisi "tulisan-tulisan penyebar kebencian yang khas, yang dapat diharapkan dari mentalitas PARI", seperti artikel berjudul: "Metoda Memerintah Imperialisme Belanda di Indonesia (48). Obor no.9 (Oktober 1935) memuat uraian program PARI. (49) Laporan lain menyebutkan bahwa jilid 5 no. 1/2 (Januari/Februari 1936) memberi komentar tentang kematian Subakat dan berisi dorongan untuk mengusir “bandit-bandit” Belanda ke luar dari Indonesia. (50) (Menurut keterangan seorang Pimpinan PARI, Subakat meninggal dalam tahanan penjara Glodok, Jakarta, karena diadu dengan anjing gila oleh penguasa kolonial waktu itu. Penterjemah).

    Penangkapan mengganggu organisasi sudah sejak didirikan. Tan Malaka sendiri tertangkap di Manila hanya beberapa hari sekembalinya dari bangkok tanggal 13 Agustus 1927, hampir dua bulan setelah PARI didirikan. Dalam 1928 Maswar Madjid (51) salah satu titik kontak utama untuk surat menyurat dari Tan Malaka di Amoy, dikejar dan berhasil ditangkap di Singapura. Oleh penguasa Inggris dia dikembalikan ke Betawi (Jakarta), dimana dia segera ditangkap pihak Belanda dan tanggal. 23 Oktober 1929 dihukum ke Boven Digul. Penangkapan Maswar Madjid ini tampaknya menimbulkan kekacauan besar dalam barisan PARI dan semua sandi dirubah untuk menjaga keamanan (32).

    Oktober 1929 Subakat ditangkap di Bangkok dan dia juga diserahkan kepada penguasa Belanda dan dipulangkan ke Hindia-Belanda untuk dihukum. Waktu penangkapan Subakat di Bangkok itulah dokumen-dokumen penting (Anggaran Dasar dan Manifesto PARI) disita di samping surat-surat dan bahan-bahan lain yang memberatkan. Jelas dari dokumen resmi pemeriksaan Subakat, bahwa dia menyatakan mengetahui sangat sedikit dan membiarkan penguasa Belanda masih terus mempuyai berbagai tafsiran salah mengenai PARI. Selama dalam tahanan penjara Glodok itulah tanggal. 5 Februari 1930 Subakat menemui ajalnya. Sumber resmi mengatakan bahwa Subakat bunuh diri, tapi Sumber PARI yakin Subakat disiksa sampai mati dalam upaya memeras lebih banyak keterangan ketimbang yang bersedia dia berikan. (54)

    Penangkapan besar-besaran terhadap mereka diduga anggota PARI dilakukan bulan Agustus 1930 dan pembersihan ini berhasil merusak parah jaringan PARI di banyak tempat. Soenarjo dari Surabaya, Soetadjo dari Cepu, Ngadimin dari Wonogiri dan R. Moerdono dari Kediri, semuanya ditangkap. Menurut intellijen Belanda, semua tangkapan itu adalah bekas anggota PKI atau Sarekat Rakyat. Dan semua mereka itu dibuang ke Boven Digoel. Dalam bulan Juni 1930 Iwa Kusumasumantri, seorang pengacara Nasionalis terkemuka di Medan, diasingkan ke Banda Neira karena hubunganya dengan Sarekat Kaum Buruh Indonesia dan secara tersimpul di dalamnya, dengan PARI. (57)

    Sekalipun penangkapan-penangkapan itu telah dilakukan, tanggal 21 Maret 1931, Jaksa Agung mengeluarkan laporan yang menasehatkan tetap bersikap waspada terhadap sisa-sisa "inti" propaganda Revolusioner PARI. (58) 

    Sekalipun terjadi kerusakan akibat penangkapan- penangkapan, kegiatan PARI tetap berjalan terus. September 1932 Djamaluddin Tamim, anggota terakhir Pimpinan pusat PARI yang masih bebas, ditangkap di Singapura oleh penguasa Inggris dan seperti biasanya diserahkan kepada pihak Belanda dan dikirim ke Boven Digul. (59) Alamat-alamat yang ditemukan pada waktu penangkapannya itu langsung membawa ke para aktivis PARI. Daja bin Joesoef di Betawi, dan Mohammad Arif Siregar di Palembang, keduanya ditangkap, Arif sendiri saja bersama dengan delapan anggota PARI lainnya. (60) Di samping itu informasi yang diperoleh selama penahanan Djamaluddin Tamim juga membawa penangkapan Djaos dan Tan Malaka di Hongkong, Oktober 1932. (61) 

    Djaos berhasil kembali ke Indonesia dan melakukan tugas memimpin Pekerjaan PARI di Jawa Timur, dimana dia menghubungi Sukarni dalam 1933. (62) Dia berhasil tetap aktif sampai tertangkap dalam 1936. Dia memberi perlawanan bersemangat dalam penjara, menolak menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan, bersikap menentang petugas dan melakukan mogok makan. Pada akhirnya Djaos juga dijatuhi hukuman pembuangan dan diberangkatkan ke Boven Digoel dalam 1937 bersama dengan Marinus Siringo-ringo, seorang aktivis PARI dalam lingkungan pelaut. (63)

    Dalam 1935 pusat-pusat kegiatan PARI terbongkar di Betawi dan Surabaya dan mereka yang ditangkap juga terus dibuang. Jahja Nasution, terkenal sebagai tokoh Partindo di Betawi (64) setelah seorang informan berhasil memperoleh dari padanya rincian susunan menyeluruh PARI. (65) Jahja Nasution lah yang menarik Adam Malik masuk PARI dalam 1935 (66) Di Surabaya seorang aktivis PNI Tjipto Soehardjo dituduh sebagai wakil PARI setempat dan bersama dengan Malelo dan Alibasah Siregar diasingkan ke Digul. (67) 

    Mungkin sekali bahwa beberapa orang yang dijatuhi hukuman sebagai aktivis PARI sebenarnya tidak bersalah, bahwa tuduhan itulah yang salah. Tapi Mohammad Bondan, seorang pemimpin PNI-Baru - dalam pengasingan, mendaftar 27 hukuman buangan PARI dikirim ke Digul pada waktu yang berbeda-beda selama 1930-an. Penangkapan anggota PARI terus menerus dan penerbitan Obor yang berjalan terus menunjukkan bahwa organisasi ini berjalan di Indonesia sekurang-kurangnya selama sepuluh tahun. Laporan intelijen dari 1936 menyimpulkan: "Bahwa mereka sekali lagi telah berhasil menyusun jaringan sel dan pendukung yang sedikit banyaknya meluas". (69)

    KESIMPULAN:

    PARI tidak pernah menjadi Partai Massa seperti dimaksudkan para pendirinya. Beroperasi dengan pemimpin-pemimpinnya berada di luar negeri dan dibawah ancaman pengusutan segera dan terus menerus, tidak hanya oleh penguasa Belanda, tapi jua oleh kekuasaan imperialis lainnya di Asia Tenggara, PARI tidak pernah tumbuh menjadi sesuatu yang melebihi sebuah kelompok propaganda kecil. Para anggota dan wakil PARI demikian kuwatir ditemukan, hingga mereka memakai cara-cara operasi gelap yang menempatkan rintangan-rintangan yang hampir tak teratasi antara mereka sendiri dengan Rakyat yang hendak mereka capai. 

    Anggaran Dasar PARI menentukan untuk putusan dalam kongres bagi cabang dengan lebih dari 1.000 anggota masing-masing; tapi tidak sebuah cabangpun berhasil dibentuk. Sebelumnya diberi bayang akan diterbitkan surat kabar dan buletin diskusi serta dokumen secara tetap teratur; tapi lembaran kertas bertuliskan tangan atau ketikan yang tidak teratur dalam tradisi samizdat, merupakan satu-satunya terbitan, yang secara sembunyi-sembunyi dikasih lihat kepada anggota dan kemudian dibakar. Struktur demokratis dengan pemilihan, debat dan hak banding diletakkan, tapi satu kali pun konferensi belum pernah diadakan, dan bahkan Komite Eksekutif Pusat tidak pernah berkumpul lagi setelah Partai dibentuk. 

    Fakta tentang ukuran dan luas kegiatan PARI yang terbatas dan sangat langkanya dokumentasi yang masih ada memberi dasar untuk pengumpulan, seperti yang tampaknya telah dilakukan kebanyakan ahli sejarah dewasa ini, bahwa PARI hanya berharga untuk disebutkan secara sepintas lalu saja dalam sejarah gerakan Nasional di Indonesia. Tapi PARI adalah organisasi yang mampu bertahan hidup selama sepuluh tahun, berlawanan dengan datang dan perginya Partai-Partai yang "Nasionalis" sempurna. (70)

    PARI adalah organisasi yang oleh intelijen Belanda dianggap cukup berbahaya untuk tetap terus diburu-buru. PARI adalah organisasi yang sanggup tetap menyusun kembali "jaringan sel dan pendukungnya" selama aktivis-aktivisnya ditangkapi dan dibuang ke pengasingan. 

    Apakah yang membuat mampu bertahan menghadapi segala rintangan itu? Adakah bekas-bekas kekal pada gerakan Nasional sebagai hasil adanya PARI? Apakah Partai yang didirikan tiga orang pelarian dari Indonesia di Bangkok tanggal. 1 Juni 1927 itu ada gunanya apapun, selain menyibukkan intelijen Belanda dan terus menerus menyediakan calon untuk pembuangan ke Digul? 

    Selama sepuluh tahun PARI mampu memelihara sel terus hidup di sejumlah pusat. Tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga kota-kota yang relatif kecil (seperti Cepu, Wonogiri dan Kediri) dan pusat-pusat di luar Jawa, Sungai Gerong (Palembang), Medan, Banjarmasin dan Riau merupakan sasaran kegiatan PARI. Sebagai kelompok buangan dengan Pimpinan diluar negeri memberi kepada PARI pendekatan terbalik kepada Indonesia dibanding dengan Partai-Partai Nasionalis yang berpusat di satu pulau, terutama Jawa. Sumber hidup PARI adalah kota-kota pelabuhan dan jaringan pelayaran antara kota-kota itu.

    Bukti yang dikumpulkan penguasa Belanda menunjukkan bahwa wakil-wakil PARI berhasil bekerja di dalam atau sekitar berbagai Partai dan kelompok Nasionalis. 

    Memang oknum-oknum yang dituduh sebagai aktivis PARI sering juga adalah pemimpin PNI atau aktivis Partindo yang terkenal. Ini menunjukkan tidak saja bahwa PARI melaksanakan kebijakan mencari calon anggota dalam kumpulan Nasionalis yang ada, suatu taktik nyata bagi kelompok seukuran itu, tapi juga bahwa batas-batas politik dalam 1930-an jauh lebih longgar dari pada yang ditunjukkan banyak komentar mengenai waktu itu. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan mengenai angsana mana dari kelompok Nasionalis yang mana telah didekati wakil-wakil PARI atau dipengaruhi gagasan PARI selama 1930-an.

    Terutama di kota-kota lebih kecil atau pusat-pusat pelabuhan daerah dan pada tingkat tengah atau bawah penelitian seperti itu dapat memberi gambaran lebih baik dari pengaruh PARI sebenarnya. 

    Dapat diajukan satu hal untuk melihat PARI sebagai 'mata rantai penghubung' antara PKI pra-1926 dan Perjuangan fisik untukKemerdekaan sekitar dua puluh tahun kemudian. Dengan hilangnya program PARI sulit untuk didokumentasikan berapa banyak dari tuntutan PKI pra-1926 yang terus diagitasikan PARI ke masyarakat; tapi jelas bahwa pada akhir 1920-an PARI adalah satu-satunya Partai politik yang menyerukan seperti yang dilakukan PKI pra-1926 sebelum-nya,Kemerdekaan segera dan sempurna, berlawanan dengan PNI dan INV-Hatta, yang dalam program mereka bahkan tidak menyebut "Indonesia Merdeka". Dan PARI adalah satu-satunya Partai yang mempunyai suatu perspektif membuka hubungan dengan gerakan Komunis Internasional, sekalipun hanya di masa depan.

    Sejarah PARI mengemukakan gagasan dan semboyan dari PKI pra-1926, sepanjang PARI meneruskan militansi dan kegigihan mengejar tuntutan dasar untuk Merdeka; sepanjang PARI meresapkan faktor-faktor ini ke dalam kesadaran sementara pelaku kemudian dalam Perjuangan untuk Kemerdekaan (belum lagi penampilan Tan Malaka sendiri waktu itu) PARI memang dapat dipandang, dalam kata-kata Djamaluddin Tamim, sebagai "JembatanEmas Menuju Kemerdekaan Indonesia jembatan yang terentang di atas jurang PKI 1926-1927 yang hancur lebur.



Loading