Di tulis oleh:  Dedy purwanto
Mantan ketua PERMAHI (Perhimpunan mahasiswa Hukum Indonesia) Cabang Yogyakarta

Akhir-akhir ini Bima di gemparkan oleh vedeo 3 (tiga) orang remaja yang berdurasi sekitar 30 detik. Dalam vedeo tersebut mereka saling berbincang mengenai identitas seksualitas laki-laki menurut kacamata perempuan. Percakapan mereka dalam vedeo itu dapat kita maknai sebagai standar laki-laki dalam melihat perempuan berdasarkan cara pandang seksualitas. Kurang lebih kita bisa menerjemah percakapan mereka seperti itu. Ketika vedeo mereka tersebar di dunia maya, netizen laki-laki maupun perempuan banyak yang menghujat dengan kata-kata yang halus maupun kasar, bahkan ada juga yang mengatakan hal yang tidak senonoh kepada tiga orang remaja di vedeo tersebut. Sebagai bentuk menghakimi itu sebenarnya berlebihan apalagi kita belum mengetahui duduk persoalannya dengan baik. Namun disisi yang lain, cara pandang sosial terhadap suatu kejadian tidak bisa kita samakan, dan tidak bisa kita bendung arusnya.

Dalam perspektif seksualitas, laki-laki masih diposisikan sebagai subjek dalam persoalan seks sedangkan perempuan dimaknai sebagai objek (sasaran). Sadar atau tidak sadar, segala hal yang ada dalam diri perempuan sebenarnya hanya disajikan untuk laki-laki. Mulai dari cara berpakaian, berjalan, merawat tubuhnya, rambutnya, wajahnya dan segala yang menempel pada perempuan merupakan sesuatu yang mereka bentuk untuk laki-laki. Mereka berjilbab sampai berjalan tampa jilbab pun kurang lebih merupakan bentuk aktualisasi dari diri perempaun sebagai objek dalam relasi sosial. Semisal, agama melarang perempuan muslim keluar rumahnya tampa memakai jilbab (tidak menutup aurat). Secara sosiologis, teks tersebut bisa kita maknai sebagai bentuk halus dari cara memposisikan perempuan sebagai objek (sasaran) dalam interaksi sosial.

Maka, untuk menjawab beberapa kasus remaja di Bima yang sempat viral di dunia maya beberapa waktu ini. Perlu sekiranya kita tela'ah lebih jauh tidak hanya melihat pelaku dalam vedeo tersebut, apa yang mereka bicarakan dan siapa yang menyebarkan vedeo itu. Yang pertama menurut kami, kasus itu kita harus maknai sebagai kasus gender, berarti persoalan antara kaum laki-laki dan perempuan secara umum. Setelah itu, kita harus mencari akar narasi dibalik buah perakapan tersebut. Dan akarnya sudah penulis temukan yaitu seksulaitas di Bima yang masih Patrilineal. Dalam kasus tersebut terlepas dari isi percakapan tiga remaja itu, bagaimanapun mereka harus kita maknai sebagai korban. Mereka tidak boleh kita posisikan sebagai pelaku. Karena dalam vedeo tersebut, percakapan itu muncul sebagai repsentasi kekecewaan perempuan pada cara pandang laki-laki terhadap mereka. Semestinya mereka dimaknai sebagai korban dari laki-laki yang hanya memahami perempuan pada standar "seksualitas" mereka semata. Kalau ada laki-laki mengkritik vedeo itu tampa merasa bersalah terhadap perempuan, maka sama halnya mereka melempar batu lalu disembunyikan tangan (merasalah malu sedikit sebagai warga dari Adam).

Setelah kita menganalisis mereka sebagai objek, maka kita akan temukan jalan tengah dalam membaca kasus ini. Setidaknya dalam hal menyalahkan mereka, kita tidak diperbolehkan untuk berlebihan tampa harus merasa bersalah juga antara satu sama lain. Karena kasus ini bukan kasus seseorang atau beberapa orang semata, tetapi kasus reprentasi gender (laki-laki dan perempuan). Setelah kasus itu kita tela'ah, perlu juga sekiranya kita melihat apakah vedeo tersebut mereka share sendiri atau ada pihak kedua dan ketiga yang mempublikasikannya di media sosial. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahwa yang menyebarkan dan membuat vedeo mempunyai saksi pidana masing-masing. Mereka menyebarkan vedeo lebih lama hukumannya daripada yang membuat vedeo. Dan kehadiran Kepolisian tidak boleh hanya memanggil pelaku dalam vedeo itu, kalau kepolisian menemukan ada pihak kedua dan ketiga yang terlibat dalam kasus itu maka perlu sekiranya mereka dipanggil dan dimintai keterangan. Dan kalau terbukti bersalah maka harus dipenjarakan.

Seburuk-buruknya perempuan, mereka tetap kebaikan yang lahir dari keburukan laki-laki. Dan sebaik-baiknya laki-laki, mereka tetap membutuhkan perempuan supaya mereka dikatakan baik.