Penulis : Delian Lubis |
Ketika bola reformasi digulirkan pada tahun 1998 kita memiliki harapan besar bagaimana terbukanya kran demokrasi yang begitu besar harusnya mampu menghilangkan budaya kekerasan sebagai penghambat dalam kehidupan demokrasi di negri ini.
Lalu muncul sebuah kecurigaan yang sangat luarbiasa tendensius bahwa kekerasan adalah sesuatu yang muncul dan mengakar dalam budaya nusantara (indonesia)?tentu saja ini tuduhan yang tidak beralasan karena hampir di semua kultur suku dan daerah di indonesia mengenal dengan apa yang di namakan musyawarah mufakat dan gotong royong dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul (terutama yang berkaitan dengan perbedaan pendapat). Bahkan founding father kita mengatakan pancasila sebagai dasar negara yg terdiri dari 5 sila ketika diperas menjadi trisakti dan diperas lagi menjadi satu kata yaitu gotong royong, lalu bagaimana mungkin di negeri yang mengatakan gotong royong sebagai landasan hidupnya tumbuh subur cara-cara kekerasan dan represifitas.
Bahkan di tingkatan daerah hal tersebut semakin masif dipertontonkan. Yang terbaru tentu saja kejadian di kabupaten Bima yg memiliki moto Bima Ramah, bagaimana kejadian (sempat viral)pengejaran dan usaha pembunuhan yg di alami oleh saudara Dilon sitorus oleh oknum preman bayaran akibat mengkritisi kebijakan proyek jalan tani yang menyerobot lahan sekolah SMP 3 madapangga adalah tindakan yg tidak manusiawi dan menciderai nilai-nilai demokratis.
Merunut dari kejadian tersebut ada beberapa indikasi yang bisa ditemukan:
Pertama. Bahwa tidakan represifitas/premanisme ini adalah usaha untuk menyembunyikan kebusukan yang terjadi pada pengerjaan proyek jalan tani yang berasal dari dana aspirasi DPRD kab.Bima.
Kedua. Bahwa elit pemangku kebijakan di kabupaten Bima sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan keji ini terbukti belum ada tindakan maupun pernyataan yang dikeluarkan pihak berwenang (DPRD dll.) Dalam menyelesaikan persoalan tersebut terutama yang berkaitan dengan pengerjaan proyek jalan tani yang dianggap bermasalah tersebut.
Ketiga. Lemahnya penegakan hukum terhadap persoalan semacam ini (represifitas terhadap demonstran) karena ini bukan pertama kali kejadian semacam ini terjadi di kab. Bima, banyak yang penyelesaiaannya tidak jelas bahkan kalaupun ada yang dihukum hanya pelaku di lapangan tanpa mampu menyentuh siapa aktor intelektual di balik itu. Sehingga hukum tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku (terutama aktor intelektual)
Untuk mengurai hal tersebut di atas tentu saja sangat membutuhkan kesatuan pandangan dan gerak dari semua pihak sehingga tindakan-tindakan semacam ini tidak terulang kembali.
a.tentu saja harus ada persatuan yang masif dari seluruh elemen prodemokrasi untuk mengawal persoalan ini, sehingga hal ini bukan lagi hanya menjadi persoalan kelompok atau organisasi tertentu tapi merupakan persoalan seluruh elemen prodemokrasi karena tindakan represif/atau premanisme adalah tindakan yang mengganggu nilai-nilai demokrasi.
b. Bahwa penegakan hukum tidak boleh tebang pilih dalam pelaksanaannya sehingga ketika hukum ditegakkan tentu mampu menjadi alat kontrol yang efektif dan memberikan efek jera bagi pelaku tindakan kekerasan/premanisme.
c.yg tidak kalah pentingnya adalah sudah saatnya kita mengevaluasi kembali aplikasi dan efektifitas moto bima ramah dlm kehidupan berpolitik sosial dan budaya bahwa moto bima ramah harus difokuskan kepada pelaksana birokrasi, DPRD dan seluruh pemangku kebijakan sehingga mampu melahirkan kebijakan yg bernafaskan ramah dan mampu menyelesaikan masalah dengan cara2 yg ramah.(Red)
0 Comments