I L U S T R A S I |
No
bourgeois, no democracy
Borjuasi menjadi pemenang “Gagasan
Tentang Kebebasan,” karena wataknya sebagai petualang dan keberaniannya untuk senantiasa menerapkan Individualistik dalam sendi kehidupan manusia
TAMBORA INFO,- Berbicara tentang mahasiswa tidak akan bisa kita lepaskan dari kata
“RAKYAT” dan “PERJUANGAN” karena secara historis kata “Maha” di depan kata
“Siswa” pada MAHASISWA merupakan pemaknaan dari keistimewaan peran kaum
Intelektual muda yang berjuang atas kemerdekaan rakyat Indonesia dalam melawan
penjajahan kolonial belanda yang sudah menguasai Sumber Daya Alam dan
kemerdekaan rakyat Indonesia selama hamper 3,5 Abad bahkan sampai beberapa kali
terlibat dalam penggulingan pemerintahan (Soekarno, Soeharto, Habibie hingga
Gus Dur) di negri ini.
Eksistensi kolonial belanda pada masa lalu dalam menancapkan pengaruhnya
di Indonesia tidak terlepas dari politik liciknya yang memecah belah persatuan
rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan budaya. Bersenjatakan
politik Devide it Impera yang kemudian
mampu memecah belah dan mengadu domba antara suku, bangsa bahkan saudara,
mereka mampu mencengkram Indonesia yang luas wilayah dan jumlah penduduknya
berpuluh – puluh kali lipat dari luas wilayah dan jumlah penduduk belanda.
Pembodohan secara sistematis merupakan senjata ampuh bagi kolonial
belanda dalam membungkam perlawanan bangsa Indonesia, dengan membungkam watak
kritis di ujung moncong senjata mereka memperbudak bangsa besar ini dengan
mempekerjakan rakyatnya membangun jalan raya, jalur kereta api dan
infrastruktur lainnya untuk memperlancar arus modal dan distribusi barang hasil
kekayaan alam nusantara tanpa upah, jaminan kesehatan bahkan masa depan.
Kondisi tersebut perlahan berdialektika seiring dengan kebijakan politis
Politik Etis [1]yang
salah satu isinya memberikan akses pendidikan untuk bangsa Indonesia (tujuannya
untuk menciptakan tenaga kerja murah dan terampil mengisi pos administrasi,
kesehatan dan kemiliteran) yang juga penuh dengan nuansa tebang pilih karena
hanya kaum bangsawan dan kalangan berkemampuan ekonomi menengah keatas saja
yang mampu menikmatinya.
Kaum Intelektual perlahan
menyadari eksistensi mereka secara umum dalam melihat realita social yang ada
antara kesenjangan pribumi dengan kolonial sehingga memunculkan pemikiran untuk
merdeka dari penjajahan. Mereka mempelajari dunia luar dan membandingkannya
dengan bumi pertiwi dimana negri dengan kekayaan alam melimpah justru hidup
sengsara dan ditindas tanpa mendapatkan sedikitpun kesejahteraan.
Sejarah Gerakan Mahasiswa Sebagai Pelopor Perubahan Rakyat
Munculnya gerakan rakyat memang merupakan respon atas situasi social,
ekonomi dan politik yang berkembang dengan tujuan mengintervensi kebijakan yang
tidak berpihak terhadap rakyat merampas hak hidup rakyat. Dalam Gerakan Rakyat,
kaum Intelektual memiliki tempat yang cukup vital untuk mengkualitaskan gerakan
mulai dari menuntut hak noormatif hingga keinginan untuk merdeka seratus
persen.
Peran kaum Intelektual dalam mendorong maju gerakan rakyat tidak dengan
proses yang instan dan mudah seperti menulis status, retweet dan mengecam lewat
dunia maya yang banyak dilakukan hari ini. Ia akan melalui proses yang panjang
dan berbagai rintangan terutama dari kelompok yang tidak menginginkan
perubahan. Tidak jarang perlakuan diskriminasi, represif, terror hingga
penculikan dialami oleh kaum Intelektual yang membunuh ekistensi watak
“elit”nya untuk berbaur dengan gerakan rakyat dan mulai menyicilnya dengan
mendidik rakyat untuk melek politik,
memahami hak dasarnya,
Dinamika gerakan mahasiswa
menjadi bagian penting dalam setiap gerak sejarah Bangsa ini bahkan sejak Pra Kemerdekaan atau sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945
di deklarasikan, kaum muda Indonesia utamanya mahasiswa sudah memperlihatkan
peran penting mereka
walaupun banyak catatan di setiap fasenya. Dinamika
gerakan mahasiswa memang mewarnai kehidupan yang ada di Negara ini. Hitam-putih
bangsa ini pun tak terlepas dari campur tangan kaum Intelektual tersebut.
Jika
kita tinjau dari sejarah gerakan rakyat pasti akan menyinggung eksistensi kaum intelektuanya.
Dimulai pada Angkatan ’08 ( Era Kolonial/Orde Lama )
Tanggal 20 Mei 1908 berdiri organisasi Budi Utomo. Organisasi ini didirikan di
Jakarta oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang sadar akan eksistensi
Intelektualnya untuk mendorong perubahan.Budi Utomo
lahir dengan watak yang mulai berani melawan kekuasaan Kolonialisme pada waktu
itu. Hari kelahiran Budi Utomo dikemudian hari diperingati sebagai hari
Kebangkitan Nasional.
Tak Cuma mahasiswa Indonesia
yang berkuliah didalam negeri saja, bahkan Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada
diluar negeri pun mulai terbuka fikirannya. Di Belanda, Mohammad Hatta dkk
mendirikan organisasi Indische
Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indiesische Vereeninging pada tahun
1922. Organisasi ini awalnya merupakan suatu wadah kelompok diskusi mahasiswa
yang kemudian orientasi pergerakannya lebih jelas dalam hal politik. Indische Vereniging berganti nama
menjadi Perhimpunan Indonesia untuk mengakomodasi semua orang Hindia (Indonesia)
tanpa diskriminasi.
Angkatan ’28 ( Era Persatuan
Pemuda ) Soetomo pada tanggal 19 oktober 1924 mendirikan Kelompok Studi
Indonesia (Indisische Studie-club). Tujuan
utamanya adalah menyebarluaskan prinsip-prinsip persatuan dan
solidaritas Indonesia.Indisische Studiedub
mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di kalangan orang-orang pribumi
supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, pengetahuan politik,
mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama untuk
membangun Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika
pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan
akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan
baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis
massa yang luas.
Bahkan eksistensi kaum intelektual pada masa itu bisa
dilihat dari tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, yang berperan besar dalam
melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan
Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa. Salah satu peran angkatan muda
1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain
dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan
mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan,
peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
Pasca Kemerdekaan Indonesia ditahun 1945, gerakan-gerakan kaum
intelektual tak pernah berhenti bahkan justru semakin menguat.Terbukti dari
munculnya organisasi-organisasi mahasiswa di masing-masing kampus yang ada.Di
era awal Kemerdekaan ini, banyak organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada
sejak zaman penjajahan kemudian terlahir kembali dengan terlebih dahulu
mengalami penyatuan dengan organisasi-organisasi yang di pandang memiliki
kesamaan terutama dalam landasan berfikir dan bergeraknya.
Loncat ke fase peralihan dari pemerintahan Soekarno ke Orde Baru, lewat
surat “misteri” Perintah Sebelas Maret ( SUPERSEAMAR ) Pemerintahan Soekarno
perlahan mulai dilucuti dan pada akhirnya 1 Juli 1966, Soeharto ditunjuk
sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari
1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden
sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Naiknya Soeharto
menjadi Presiden menjadi angin segar bagi para tokoh-tokoh mahasiswa angkatan
66 yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet
pemerintahan Orde Baru.[2]
Ditahun-tahun selanjutnya, Angkatan 74 (Era kebangkitan Perlawanan
Terhadap Rezim), terdapat perbedaan dalam karakter berjuang Gerakan Mahasiswa
dengan pendahulu-pendahulu mereka. jika angkatan 66 disokong oleh kekuatan
militer, angkatan 74 justru berhadapan dengan militer.Gerakan mahasiswa massif
melakukan perlawanan terhadap rezim berkuasa yang diwarnai dengan berbagai isu
kerakyatan hingga isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM
Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan terjadinya terjadinya peristiwa
Malari pada 15 Januari 1974.[3]
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang
aksi protes mahasiswa nyaris sepi.Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan
kampus.Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan
diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.Setelah gerakan mahasiswa
1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa
tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)[4]oleh
pemerintah secara paksa.Dengan konsep NKK/BKK inilah kemudian muncul “stempel”
organisasi intra ( internal ) dan ekstra ( eksternal ) kampus yang tentu saja
gunanya memecah konsentrasi gerakan mahasiswa dengan mencoba menyibukkan
mahasiswa dengan aktivitas yang tidak bersentuhan dengan rakyat.
Era kebebasan yang didapatkan setelah Selama 32 tahun terkungkung dalam
bayang kekejaman rezim Soeharto pun seakan terlewati begitu
saja.Gerakan-gerakan mahasiswa justru tidak memaknai kebebasan tersebut sebagai
alat untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan, sebaliknya
organisasi-organisasi mahasiswa justru seakan dinina bobokan dengan kebebasan
tersebut.Bisa dikatakan hingga kini dari sekian banyaknya organisasi mahasiswa
yang ada, tak banyak yang masih berada di jalur yang semestinya, dimana tetap
berada dalam barisan rakyat.belum terhapusnya pola berfikir peninggalan Rezim
Soeharto ( organisasi internal dan eksternal kampus ) dan diperparah dengan
tida adanya upaya untuk duduk bersama dan bergerak bersama ditengah lingkaran
rakyat semakin menambah kemunduran gerakan. Hal itulah yang seharusnya menjadi
PR untuk diselesaikan bersama saat ini, bahwa tak ada yang membedakan antara
Internal dan eksternal karena mereka memiliki tangggung jawab yang sama yakni
bagaimana menegakkan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Persatuan Kekuatan Borjuasi
Dalam Menindas Rakyat
Persatuan
gerakan rakyat yang didorong maju oleh kaum Intelektual tentunya mendapat
hambatan besar dari kaum pemodal (Borjuasi) yang tidak menginginkan eksistensi
modalnya terganggu. Dengan kompak mereka bersatu dalam mendorong maju aturan
dan kebijakan yang mendiskreditkan gerakan rakyat serta memblejeti perspektif
persatuan menjadi hal yang tabu bagi gerakan rakyat.
Dengan ilusi
demokrasi, kaum pemodal mampu mendominasi di setiap lini kehidupan rakyat dan
memanipulasi kesadaran berlawan rakyat agar menitipkan segala keluh kesah serta
aspirasinya kepada wakil rakyat (Legislatif)
yang gemar mengumpulkan kekayaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Rakyat
di tanamkan watak budak, takut dan anti kritik dengan melabelkan kritik sebagai
sesuatu yang tabu dan tidak beretika.
Lewat PEMILU
atau pesta demokrasi, rakyat di iming-imingi kesejahteraan dan penghidupan yang
lebih baik dengan memilih wakilnya di lembaga legislative serta memilih secara
langsung presidennya. Tidak jarang justru ilusi semacam ini yang mengadu domba
antar rakyat bahkan sesama saudara hanya karena perbedaan pilihan dan janji
yang ditawarkan elit politik borjuasi, padahal jika di tinjau secara historis
bahwa janji saat kampanye tidak pernah dieksekusi menjadi suatu aturan dan
kebijakan yang sah dan juga tidak dapat digugat karena tidak berkekuatan hukum,
“janji tinggal janji kalau gak janji gak menang”.
Kita tentu masih
ingat setelah Jokowi - JK
menang, apa yg didapatkan rakyat? Mereka justru digusur habis-habisan dan digantikan property milik
investor. Pajak
rakyat dinaikkan namun pajak pengusaha diampuni serta kebijakan anti rakyat
lainnya.Padahal,
saat kampanye, rakyat miskin kota dijanjikan akan mendapatkan
pengakuan hak atas ruang kota. Tergerak oleh janji, rakyat mendukung dan turut
berkampanye serta memproduksi sendiri alat-alat kampanye yang tidak murah itu.
Apa yang terjadi setelah Jokowi menang? Setelah jabatan benar-benar
didapatkan, bukan pengakuan atas ruang hidup yg mereka dapatkan tetapi
penggusuran besar-besaran terhadap ruang hidup warga kampung kota, PKL dan
angkutan-angkutan tradisional yg dilakukan secara masif dan brutal. Protes dan kritik ditanggapi dengan
santai dan lelucon oleh pemerintah, derita petani Kendeng, rakyat Taliabu –
Maluku Utara, Kalimantan, Papua dan lainnya yang menagih janji “kerakyatan”
justru mendapat intimidasi, represif, hingga merenggut nyawa.
Bagaimana peran pemodal (borjuasi)? Pada masa kolonial, sebagian besar
orang bersepakat bahwa borjuasi turut berperan
penting dalam perjuangan kemerdekaan. Namun demikian, seperti dicatat ekonom Andre Gunder Frank, begitu kemerdekaan
dicapai kalangan borjuasi tidak bersungguh-sungguh untuk membebaskan dirinya
dari ketergantungan terhadap kapitalis internasional. Sebaliknya, mereka terus
mengikatkan diri padanya. Bisa kita lihat sejarah Indonesia, catatan historis
pengusaha besar Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam menjual bangsa
dan merampok kekayaan alam Indonesia, Bakrie Group, Sedayu Grup dan korporasi
nasional lainnya tidak kalah kejamnya dalam mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia, mereka secara langsung (menjadi pejabat atau petugas partai) maupun
tidak langsung (memberikan sokongan dana) juga berpartisipasi dan penentuan
kebijakan politik dan ekonomi di Indonesia yang mengarahkan pada pembuatan
kebijakan yang pro-modal dan menindas rakyat.
Bukan hanya Indonesia, di
masa perang dingin borjuasi di negara berkembang sangat rendah komitmennya pada
demokrasi. Serangkaian kudeta militer terhadap pemerintahan populis atau
nasionalis atau sosialis di berbagai belahan dunia berkembang, selalu
mendapatkan sokongan kuat dari borjuasi. Ambil contoh kudeta terhadap perdana
menteri Iran, Mohammed Mossadeq, pada 1953, juga kudeta terhadap presiden
Brasil João Goulart, pada 1964. Yang paling spektakuler, tentu saja adalah
kudeta militer di Chile pimpinan jenderal Augusto Pinochet, terhadap presiden
terpilih secara demokratis, Salvador Allende. Kudeta ini, didukung tidak saja
oleh borjuasi domestik, tapi juga borjuasi internasional.
Ketika terjadi transisi dari rejim
kediktatoran militer di berbagai belahan dunia menuju demokrasi, studi tentang
hubungan antara borjuasi dan demokrasi menjadi marak. Dasarnya bertolak dari
pengalaman betapa lemahnya komitmen demokrasi dari borjuasi di masa
kediktatoran, sehingga menarik untuk dilihat bagaimana mereka menempatkan diri
dalam situasi ekonomi politik yang telah berubah. Jika demokrasi melahirkan pemerintahan
yang mencoba mengatur dan mengontrol aktivitas borjuasi, maka komitmen pada
demokrasi ini seketika meluntur. Inilah yang terjadi di Venezuela, dimana
borjuasi mendukung sepenuhnya kudeta militer terhadap Hugo Chavez, presiden
terpilih secara demokratis pada 2002.Jauh ke belakang kita melihat
kejatuhan Soekarno yang melawan dominasi Imperialis Amerika yang berujung di
khianati oleh bangsanya sendiri.
Persatuan gerakan rakyat
dalam MEI Berlawan
Dari sedikit
catatan-catatan gerakan pemuda/Mahasiswa diatas, sudah semestinya kita kembali untuk
memulai merubah pola berfikir serta berjuang kita. Pola fikir yang cenderung
reformis, kompromi terhadap hal-hal yang justru kita tahu menyengsarakan
rakyat, pola berfikir yang birokratis, elitis, kariris ataupun oportunis itu
pun harus dihilangkan.
Selain itu, kaum
intelektual sudah seharusnya semakinmendekatkan diri kepada rakyat, apalagi
kita percaya bahwa perubahan hanya bisa terjadi dengan kekuatan perjuangan
bersama rakyat. Dan yang menjadi tugas yang tak kalah pentingnya adalah
menyingkirkan pola berfikir yang mengkotak-kotakkan gerakan yang memisahkan
antara gerakan rakyat dengan gerakan mahasiswa, yang memisahkan atau memberikan
identitas adanya organisasi internal maupun eksternal, karena tak ada gunanya
lagi kita meributkan hal itu, memperdebatkan hal yang sama sekali tidak akan
merubah kehidupan atau keberlangsungan berbangsa-bernegara. Bahkan sudah
saatnya organisasi-organisasi ataupun Lembaga-lembaga Mahasiswa untuk saling
melingkar bersama, berdiskusi serta bergerak bersama-sama untuk melanjutkan
cita-cita para kemerdekaan, Membangun suatu tatanan dunia, dimana semua manusia
hidup bergandengan tangan, tanpa penindasan bangsa atas bangsa, tanpa
penghisapan manusia atas manusia demi mewujudkan kemerdekaan 100% yang sudah
dikhianati oleh elit politik borjuasi hari ini.
Oleh : Anantama Agam (Koordinator Departemen Propaganda KPP-SMI dan
pernah menjadi Sekretaris Jendral Persatuan Mahasiswa Kota Bima 2011-2012)
[1]Politik
Etis adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan pribumi.
Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa
oleh golongan social-demokrat di belanda.Program Trias Politicas yang
meliputi Irigasi, Emigrasi dan Edukasi merupakan
program yang mendukung gerak modal di Hindia Belnada (Indonesia)
[2]Cosmas
Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi
ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI dll pun berada dalam lingkaran
pemerintahan Rezim Soeharto
[3]Peristiwa
Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa
dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi
saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta
(14-17 Januari 1974) . Kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi
dan kerusuhan yang menyebabkan korban jiwa
[4]Kebijakan
NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat
setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979.Konsep ini mencoba mengarahkan
mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik.Menyusul pemberlakuan
konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan
atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur
keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk
Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan
dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi
tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga
kemahasiswaan di Perguruan Tinggi
0 Comments