Facebook
TAMBORA INFO,-1888: pemberontakan para petani Banten, dipimpin oleh ulama tarekat. Pemberontakan ini memperlihatkan fenomena pertama simbosis antara petani dan tokoh agama – kelas proletar dan kelas menengah pedesaan – dalam melakukan perlawanan politik yang terorganisir.
1909-1912: Sarekat Dagang Islam terbentuk, persyarikatan pertama umat Islam di Jawa berdasarkan kepentingan ekonomi-politik, sebelum meningkat menjadi organisasi politik sebagai Sarekat Islam (SI) yang berkembang dengan jutaan massa dari kalangan petani dan buruh. Sarekat Islam mengafirmasi kesesuaian antara Islam dan Sosialisme, pemikiran teoretik pertama yang memberikan landasan pembebasan bagi perjuangan Islam.

1912: Muhammadiyah lahir sebagai organisasi pendidikan, dakwah, dan ekonomi. Watak organisasi ini pada awalnya merupakan organisasi borjuis kecil yang menghindari konfrontrasi dengan kolonialisme. Namun, Muhammadiyah berhasil membangun suatu kemandirian ekonomi-politik yang kuat, yang menempa banyak pemimpin pergerakan. Dari rahim organisasi ini banyak lahir pemimpin Sarekat Islam.
1914: pembentukan Nahdlatut Tujjar, “Kebangkitan Para Pedagang (Kecil)”, organisasi dagang kaum santri dan para pedagang kecil dari latar belakang rakyat. Organisasi ini merupakan salah satu cikal-bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.

1914: pembentukan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging), organisasi kiri, internasionalis, demokratik, dan komunis pertama di Indonesia. Dalam pasal-pasal programnya, ISDV hendak, antara lain, “mempersatukan rakyat, buruh dan tani segala bangsa dan agama atas dasar perjuangan kelas”. Visi yang ramah-agama ini menarik perhatian banyak kaum Muslim untuk bergabung dengan ISDV, dan menjadi cikal-bakal keterlibatan dan bahkan kepemimpinan orang-orang Islam di dalam PKI (Partai Komunis Indonesia), organisasi hasil transformasi ISDV yang berdiri pada 1920. Banyak tokoh PKI generasi awal, bahkan sampai 1940-an, berlatar belakang Muslim dan beberapa di antaranya merupakan tokoh Islam dengan gelar “kiai haji”.

1916: pembentukan Nahdlatul Wathan, “Kebangkitan Negeri”, organisasi nasionalis pertama kaum santri yang merupakan forum pembelajaran agama dan persoalan-persoalan sosial. Di forum-forum organisasi ini para ulama turun-tangan membahas dan menyikapi persoalan-persoalan rakyat akibat penindasan dan eksploitasi kolonial.

1919: Kongres SATV (Sidik Amanat Tableg Vatonah) di Surakarta yang dipimpin oleh Haji Misbach, tokoh yang pertama kali memperkenalkan gagasan Komunisme Islam di tanah Jawa, diikuti oleh ribuan peserta dari kalangan guru-guru agama, aktivis pergerakan, buruh, dan tani. Dinamika di Surakarta sangat terinspirasi oleh revolusi terbesar di awal abad ke-20, Revolusi Bolshevik, yang terjadi dua tahun sebelumnya di Rusia (1917).

1922: Tan Malaka berpidato di Kongres Internasional Komunis (Internasionale) IV yang dipimpin oleh Lenin tentang perlunya kaum komunis bekerjasama secara tulus dengan gerakan Pan-Islamisme, yang dipahaminya sebagai bentuk internasionalisme baru yang sejalan dengan cita-cita umat manusia yang tertindas di mana pun berada dan sejalan dengan cita-cita “pembebasan nasional”.

1926: kelahiran N.O. (Nahdlatul Oelama) sebagai organisasi Islam para ulama dalam membentengi tradisi umat dan budaya-budaya lokal yang sedang mengalami gempuran dari gerakan puritanisme Islam yang reaksioner. Arti N.O. adalah “Kebangkitan Ulama”, menyiratkan kesadaran baru perlunya kebangkitan untuk melawan dan tidak tinggal diam ketika ditindas.

1926: Soekarno muda menerbitkan artikelnya, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, memberi landasan ideologis pertama bagi kemungkinan mempertemukan tiga arus ideologis gerakan sosial yang paling maju namun saling bertolak belakang dan diwarnai konflik saat itu. Dalam artikel ini Islam tidak bertentangan dengan Marxisme, justru saling melengkapinya, demikian juga dengan nasionalisme.

1937: pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), federasi organisasi-organisasi Islam se-Indonesia pertama. MIAI memperkenalkan gagasan persatuan umat Islam dalam kerangka yang inklusif dan dilandaskan pada solidaritas di tengah berbagai perbedaan ideologis organisasi-organisasi Islam.
1944: perlawanan Sukamanah dipimpin oleh KH Zainal Arifin, menggegerkan pemerintahan Jepang. Perlawanan ini menyulut radikalisasi kaum santri dan para guru agama yang didukung oleh massa tani pedesaan melawan Impérialisme dan Fasisme Jepang dan sekutunya.

1945: “Resolusi Jihad” Nahdlatul Ulama, merupakan deklarasi perjuangan revolusioner kaum santri yang paling dikenal dan monumental dalam membela kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme.\

1960: kontribusi para tokoh dan intelektual Islam terhadap penyusunan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang memberi landasan awal membangun kedaulatan rakyat Indonesia atas tanah airnya, terbebas dari kolonialisme dan kapitalisme, dan memberikan reformulasi awal bagi sosialisme Indonesia dalam tata-milik dan tata-kelola agraria di Indonesia.

1978: represi Orde Baru atas kekuatan politik Islam diprotes oleh para ulama, antara lain KH Bisri Syansuri dan KH As’ad Syamsul Arifin. Protes ini muncul dalam bentuk penolakan atas tafsir Pancasila melalui penataran P4 dan PMP yang indoktriner. Selama pemerintahan Orde Baru yang represif, langkah-langkah progresif dan kritis nyaris lekat dengan manuver politik yang dilakukan oleh para ulama dari latar belakang NU (Nahdlatul Ulama), meskipun tidak berhasil membangkitkan semangat dari organisasi-organisasi Islam lain untuk turut melawan. Kelak, Mitsuo Nakamura, seorang pengamat NU dari Jepang, menyebut langkah-langkah dari para ulama ini sebagai cerminan dari suatu “tradisionalisme radikal”.

1980-1985: kemunculan selapisan intelektual Islam yang memperkenalkan gagasan-gagasan “Islam transformatif” (Moeslim Abdurrahman, Kuntowijoyo, Adi Sasono, dll.) di tengah pengapnya kediktatoran rezim Soeharto, upaya awal untuk membawa Islam kembali memiliki peran sosial dan politis. Gagasan-gagasan ini mendapat sambutan di kalangan kelas menengah Islam, namun tidak memiliki basis sosial yang kuat sehingga tidak mendapat tanggapan dari umat/rakyat.

1993: penerjemahan dan penerbitan buku “Kiri Islam” oleh LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), sebuah komunitas para aktivis muda Islam dari latar belakang santri yang aktif dalam mendiskusikan agama dalam bingkai teori-teori sosial kritis.

1994: upaya oposisi para ulama melawan politik diktator Orde Baru dalam forum Muktamar Cipasung, memunculkan ketokohan, antara lain, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai tokoh massa Islam yang mampu merebut dukungan umat Islam melawan arogansi rezim Soeharto yang ingin menghegemoni NU secara struktural. Gus Dur merupakan seorang tokoh Islam progresif dari arus sosial-demokrat; peran Gus Dur semakin meningkat pada masa Reformasi dengan sejumlah gagasan dan langkah politiknya yang maju dan memiliki orientasi mendekatkan kembali ulama dengan umat, melalui kemandirian umat dari negara, konsep negara yang demokratik, dan mendekatkan kembali elemen agama dan elemen kiri yang tersisihkan di bawah kediktatoran Orde Baru.

1997-1998: keterlibatan kalangan Islam, terutama massa Islam, dalam meradikalisasi situasi menjelang keruntuhan Orde Baru, rezim terlama dan terkorup Indonesia. Namun, dalam situasi krisis ini, baik unsur progresif maupun reaksioner sama-sama berebut pengaruh dalam membentuk situasi yang diinginkan. Namun, Reformasi dimenangkan oleh kubu reaksioner dan elite-elite mereka.

2000: Gus Dur meminta maaf kepada keluarga korban kekerasan anti-komunis sepanjang tahun 1965-1966 atas keterlibatan massa Islam, khususnya dari kalangan NU, dalam sejumlah aksi kekerasan tersebut, menyerukan suatu rekonsiliasi nasional dengan para eks-tapol 1965, dan mengusulkan pencabutan TAP MPRS yang melarang penyebaran Marxisme-Leninisme di Indonesia.

2000: menjamurnya terbitan buku-buku kiri di kota-kota kampus seperti Yogyakarta dan Jakarta, yang melibatkan kontribusi para bekas aktivis dari organisasi mahasiswa Islam seperti HMI dan PMII.

2002: pembentukan Syarikat (Santri untuk Advokasi Masyarakat), sebuah organisasi yang digerakkan oleh para santri yang bekerja dalam rekonsiliasi korban kekerasan anti-komunis 1965-1966 dan kelompok Islam.

2003: suara-suara kritis ulama, antara lain dari kalangan NU, terhadap sejumlah kebijakan neoliberal pemerintahan Megawati yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), di tengah dukungan segelintir kelompok liberal terhadap kenaikan harga BBM.

2007: Unjuk rasa massa dua ormas Islam, NU dan Muhammadiyah, menentang rencana pemerintah membangun PLTN (Pembangkit Listrik tenaga Nuklir) di semenanjung Muria, Jepara. Unjuk rasa ini memperlihatkan fenomena pertama aksi-aksi dari massa Islam menyangkut persoalan lingkungan dan agraria, melawan kebijakan neoliberal pemerintah yang lebih memihak korporasi dan tidak mempedulikan keselamatan rakyat.

2013: penerbitan media “Islam Bergerak”, awalnya dalam format majalah, kemudian berganti menjadi situs online, terinspirasi oleh media dengan nama sama yang pernah diterbitkan oleh Haji Misbach di Surakarta pada 1917. Media ini kemudian berkembang menjadi forum kajian pemikiran-pemikiran Islam di dunia maya maupun dalam diskusi-diskusi “offline”.

2013: pembentukan FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang - Jawa Timur, sebuah organisasi jaringan kaum santri untuk isu agraria dan sumber daya alam yang memiliki tujuan melawan kapitalisme ekstraktif di Indonesia, yang semakin berkembang akibat kebijakan neoliberal pemerintah dalam memberi konsesi-konsesi bagi perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dan sumber daya alam masyarakat.

2014: Muhammadiyah mengeluarkan hasil ijtihadnya untuk melawan privatisasi sumber daya air di Indonesia dengan menerbitkan “Fikih Air” dan seruan “Jihad Konstitusi” melawan privatisasi air oleh korporasi.

Di tulis oleh :



Gus Muhammad Al-Fayyadl
(FB 28 Juni pukul 10:28)
: