Kerajaan Gowa terletak di bagian selatan Kota Makassar merupakan daerah persawahan yang subur sampai Takalar dengan pengairan bersumber dari Sungai Jeneberang yang mengalir dari Gunung Lompobattang, demikian juga Kerajaan Tallo yang terletak di bagian utara Kota Makassar sampai dengan Maros dan Siang (Pangkajene) mempunyai daerah persawahan yang luas dengan sumber pengairan dari Sungai Tallo, Sungai Maros, dan sungai-sungai kecil lainnya yang mengalir dari Gunung Bulusaraung di sebelah timur. Karena luasnya daerah persawahan, maka kedua kerajaan ini merupakan penghasil beras yang melimpah yang diperdagangkan keseluruh pelabuhan antara lain Ternate, Jawa, Sumatera, Malaka, dan Manila (Filipina).
Jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Gowa yang lazim disebut Kerajaan Makassar, telah ada Kerajaan Makassar yang berpusat di Pujananti (Pujananting) atau Sunra Riaja. Pusat kerajaan tersebut kemudian pindah ke Daerah Pangkajene, yang dahulu oleh orang Portugis menamakan Siao atau menurut orang tua-tua di daerah itu disebutnya Siang yang berpusat di Bungoro. Kerajaan Siang didirikan dan diperintah oleh seorang putri dari raja Luwu bernama Karaeng Kodingareng (orang Portugis menyebut Godinaro) pada tahun 1112 atau kurang lebih 200 tahun sebelum berdirinya Kerajaan Gowa, Bone, Soppeng, dan Sawitto. Dalam pemerintahan Karaeng Kodingareng, ia dibantu oleh beberapa kepala suku. Perdagangan di Siang telah berkembang pesat jauh sebelum Makassar muncul, bahkan Kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaannya. Kerajaan Siang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dikunjungi orang Melayu dan Portugis dan telah menetap di bandar niaga ini sejak sekitar tahun 1490.
Menurut buku sastra I-Lagaligo (cerita Bugis Kuno), disebut bahwa isteri ke-3 I-Lagaligo Topadammani Opunna Cina atau Tanah Ugi bernama Karaeng Tompo Daeng Mallino To Mangkasa, Datunna Sunra Riaja. To Mangkasa (orang Makassar) adalah sebutan orang Bugis untuk orang Makassar. Karaeng Tompo Daeng Mallino adalah kemanakan raja Ajatasi' atau Sunra Riaja bernama Nyili'na Iyo, dengan pusat kerajaan di Gosabare.
Jika ditinjau dari sejarah Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Maha Patih Gajah Mada, Makasar (Makassar) sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab "Negarakertagama" karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi yaitu Bantayan (Bonthain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (P.Kunyit), Selaya (Saleier), dan Solot (Solor). Nama Bantayan artinya tempat pembantaian, menurut cerita, pada jaman kerajaan Majapahit, beberapa orang dari Jawa berkunjung dan melihat orang saling membantai, sehingga orang dari Jawa tersebut menyebutnya "Bantayan".
Dalam lontara diterangkan bahwa sebelum kerajaan Gowa terbentuk ada 4 raja yang memerintah atas negeri-negeri yaitu: Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero. Kesembilan negeri ini membentuk federasi yang diketuai seorang pejabat digelar Paccallaya. Kerajaan Gowa baru berdiri kira-kira tahun 1300 Masehi dengan pusat kerajaan terletak di atas bukit Takka'bassia yang kemudian disebut Tamalate. Menurut cerita, Tamalate artinya "tidak layu", adalah nama Istana raja Gowa yang dibangun dari satu pohon kayu, sampai dengan selesainya pembangunan istana tersebut dahan dan daun dari pohon itu tidak layu, sehingga Istana raja Gowa ini diberi nama Tammalate atau Tamalate. Di istana inilah raja-raja Gowa dilantik menurut adat Kerajaan Gowa, sehingga disebut Pallantikang. Di tempat ini pulalah beberapa raja Gowa dimakamkan.
Raja Gowa yang Pertama adalah seorang perempuan yang diberi nama (gelar) Tumanurung Bainea (1320-1345) yang kawin dengan Karaeng Bayo, yang merupakan cikal bakal raja-raja Gowa. Tumanurung (Tu-manurung), “tu” artinya orang; “manurung“ artinya turun ke bawah (turun dari kayangan). Menurut cerita, Karaeng Bayo berasal dari Bonthain yang hidupnya di air (orang-orang bayo), lalu disebut Karaeng Bayo. Karaeng Bayo mempunyai saudara bernama Lakipadada.
Tumanurung Bainea digantikan oleh putranya bernama Tumasalangga Baraya, dan menjadi Raja Gowa ke-2 tahun 1345-1370. Dalam silsilah raja-raja Gowa disebutkan, raja-raja Gowa berikutnya sesudah Tumasalangga Baraya adalah berturut-turut Raja Gowa ke-3 I-Puang Loe Lembang (1370-1395), Raja Gowa ke-4 Tuniata Tanri (1395-1420), dan Raja Gowa ke-5 Karampang ri Gowa (1420-1445). Karampang ri Gowa selanjutnya digantikan oleh Tunatangka Lopi menjadi raja Gowa ke-6 (1445-1460).
Raja Gowa ke-6 Tunatangka Lopi, membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan, kepada puteranya yang bernama Batara Gowa diserahkan daerah-daerah gallarang Kerajaan Gowa, yaitu:
- Gallarang Pacellekang,
- Gallarang Pattallassang,
- Gallarang Bontomanai, (sebelah timur),
- Gallarang Bontomanai, (sebelah barat),
- Gallarang Tombolo, dan
- Gallarang Mangasa.
Daerah-daerah Gallarang inilah selanjutnya disebut Kerajaan Gowa di bawah Raja Gowa ke-7 yang bernama Batara Gowa. Kepada puteranya yang bernama Karaeng Loe ri Sero adik Batara Gowa, diserahkan daerah-daerah Gallarang Kerajaan Gowa, yaitu:
- Gallarang Saumata,
- Gallarang Pannampu,
- Gallarang Moncong Loe, dan
- Gallarang ParangLoe.
Diluar daerah gallarang yang diserahkan kepada Karaeng Loe ri Sero, terdapat pula dua kerajaan yang masing-masing dipegang oleh Karaeng Loe ri Bentang dan Karaeng Loe ri Bira, yang selanjutnya menggabungkan diri dengan Karaeng Loe ri Sero. Daerah-daerah gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Tallo. Wilayah kerajaan Tallo meliputi kerajaan Marusu (Maros), Ujung Tanah, dan Bontoala.
Karaeng Loe ri Sero (1460-1490) digantikan oleh anaknya yaitu Samarluka Tunilabu ri Suriwa (memerintah sekitar 1490an). Samarluka memperisterikan Kare Sua. Dikisahkan, beliau melakukan pelayaran niaga ke Jawa, Malaka, Timor, dan Banda. Dia juga berusaha menduduki Flores namun gagal, karena armada yang dipimpinnya diserang oleh Raja Polongbangkeng di sekitar Selayar. Dia dibunuh dan mayatnya dihanyutkan. Itulah sebabnya dia dijuluki Tunilabu ri Suriwa (Orang yang ditenggelamkan di Suriwa). Beliaulah yang pertama-tama membuat empang di Buloa, dan daerah persawahan di Talakapandang. Setelah Samarluka Tunilabu ri Suriwa meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, I-Mangngayaowang Berang sebagai Raja Tallo ke-3.
Batara Gowa (1460) hanya dapat memerintah Kerajaan Gowa selama 1 tahun. Setelah wafat, ia diberi gelar Tuniawanga ri Paralekkanna. Beliau digantikan oleh putranya, I-Pakere Tau Tunijallo ri Passukki sebagai Raja Gowa ke-8 yang menduduki tahta Kerajaan Gowa selama 50 tahun (1460-1510). Tunijallo kemudian digantikan oleh saudaranya, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi sebagai Raja Gowa ke-9 (1510-1546). Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi adalah anak dari putri Somba Garassi dan ibu berasal dari Bone. Raja Gowa ke-9 ini meninggal dunia karena menderita penyakit pada lehernya, maka ia diberi gelar Tumapa’risi Kallonna.
Pada awal masa pemerintahan Raja Gowa Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi atau lebih terkenal dengan gelar Tumapa'risi Kallonna, terjadi perselisihan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528, dimana pada waktu itu yang memangku raja di Kerajaan Tallo adalah I-Mangngayaoang Berang Karaeng Pasi sebagai Raja Tallo ke-3. Dalam perselisihan itu, Kerajaan Tallo diserang dan dapat dikalahkan. Dengan kekalahan itu, dibuatlah suatu perjanjian yang berisi sumpah untuk menyatukan dua kerajaan, yang berbunyi “Ia-iannamo tau ampasiewai Gowa-Tallo iamo nacalla rewata” yang artinya Barang siapa yang mengadu domba Gowa dan Tallo akan dikutuk Dewata. Sejak itu dikenal ungkapan "Ruwa karaeng se’re ata” yang artinya dua raja satu hamba. Dengan adanya perjanjian itu, pemerintahan kerajaan disatukan kembali dan langsung diperintah oleh raja Gowa. Sedangkan untuk Raja Tallo dan seterusnya diangkat sebagai Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa. Kedua kerajaan inilah sering disebut Kerajaan Makassar. Karaeng Tumapa'risi Kallonna memperisterikan I-Raiya Karaeng Loe dan I-Ralle Karaeng Pasi.
Benteng Sanrobone dibangun tahun 1515-1620 |
Benteng Sombaopu dibangun tahun 1525 |
Untuk meluaskan hegemoni kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan Raja Tumapa’risi Kallonna mengadakan hubungan dan membuat perjanjian dengan raja Bone ke-6 yaitu La Ulio’ BotoE MatinroE ri Itterrung (1535-1560).
Dengan jatuhnya Kota Malaka ketangan Portugis dibawah pimpinan Afonso de Albuquerque pada tanggal 24 Agustus 1511 yang merupakan kota pelabuhan dan perdaganganan, maka banyak penduduk Melayu meninggalkan Malaka, antara lain menuju kerajaan Gowa dan Tallo dan menetap di beberapa pulau kecil di Siang (Pangkajene). Pulau-pulau kecil yang didiami orang Melayu ada 13 pulau yang kemudian diberi nama dengan huruf awalnya "S" yaitu Salemo, Satando, Saugi, Sabutung, Sarappo, Samatellu, Sabangko, Sagara, Sakuala, Sapuli, Sanane, Salebbo. Demikian juga terjadi peralihan arus perdagangan ke wilayah timur untuk mencari pelabuhan yang aman, seperti Pelabuhan Siang dan Pelabuhan Tallo, sehingga kedua pelabuhan ini menjadi ramai dikunjungi oleh pedagang perantara baik dari Maluku maupun dari pulau Jawa termasuk pedagang-pedagang dari India, Cina, dan Semenanjung Malaka.
Pada tahun 1512 orang Portugis mulai melakukan ekspedisi ke Maluku dibawah pimpinan Fransisco Serrao. -"Maluku" adalah nama asli dari lima pulau yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. yang terkenal karena cengkehnya. Portugis menyebut "Maluquo" atau "Maluco"-. Pada tahun 1534 Gubernur Portugis di Ternate Pedro d'Ataide memperoleh kabar bahwa Makassar banyak menghasilkan emas, selanjutnya dalam tahun 1538 orang Portugis melakukan ekspedisi dan sampai ke bandar niaga Kerajaan Makassar. Untuk pertama kalinya bangsa Portugis yang tiba di Kerajaan Makassar langsung mengadakan hubungan dengan Raja Gowa Tumapa'risi Kallonna. Orang-orang Portugis diterima oleh Baginda di dalam istana baginda di Benteng Sombaopu. Setelah diterima dalam suasana persahabatan dengan orang Makassar, mereka mengusahakan juga penyebaran agama Nasrani (Katolik) di negeri Makassar. Beberapa orang dari kalangan raja Gowa menerima agama baru itu. Selain itu, banyaknya pula pendatang dari luar termasuk orang Melayu, antara lain Anakhoda Bonang (seorang pedagang dari Jawa), wakil pedagang Melayu (Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor) memohon kepada raja untuk diizinkan menetap dan berdagang di Makassar. Permohonan tersebut dipenuhi dan menetap di Mangallekana sebelah utara Sombaopu. Daerah pemukiman ini dibawah pengawasan syahbandar I-Mangngambari Karaeng Mangngaweang atau dikenal dengan nama I-Daeng ri Mangallekana.
Benteng Sombaopu yang pada mulanya merupakan benteng pertahanan, kemudian berkembang menjadi emporium (pusat perdagangan), pemerintahan, dan pelayaran, sehingga membentuk suatu kota pusat kerajaan dan kota pelabuhan, karena memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh pedagang. Dengan meningkatnya kunjungan para pedagang di Kerajaan Makassar, diangkatlah Tumailalang Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pammate sebagai Syahbandar pada pelabuhan Sombaopu pada tahun 1538. Daeng Pammate inilah juga yang membuat huruf Makassar yang terdiri dari 18 huruf. Sejak waktu itu, orang Gowa mulai mencatat kejadian-kejadian penting yang disebut lontara. Disebut lontara karena catatan ditulis diatas daun lontar (Borassus flabellifer) yang telah dikeringkan berhubung kertas belum ada. Peristiwa-peristiwa tentang Gowa dan Tallo yang dicatat Daeng Pammate disebut Lontara Bilang Gowa Tallo (kronik kerajaan Gowa dan Tallo). Disamping itu, Kerajaan Gowa telah mempunyai bendera berwarna Merah Putih, didalamnya bersulam emas bergambar bulan sabit serta burung-burung dan dedaunan (Manai Sophiaan, 1994).
Di samping benteng-benteng Kale Gowa, Sanrobone, dan Sombaopu, serta Benteng Tallo, dibangun lagi dua buah benteng yaitu Benteng Ujung Pandang dan Benteng Ujung Tanah pada tahun 1545. Pembangunan Benteng Ujung Pandang menurut cerita orang-orang tua, bahwa batu yang digunakan untuk mendirikan benteng Ujung Pandang adalah batu kuril yang diambil dari seberang muara Sungai Tallo. Apabila dibandingkan dengan jenis batuan tersebut, maka jenis batu ini adalah batu tufa vulkanik yang sama dengan jenis batuan yang digunakan di Benteng Ujung Pandang. Batu tufa vulkanik ini adalah hasil endapan lava dari Gunungapi Lompobattang yang meletus pada tahun 2000 SM. Selain Gunungapi Lompobattang, terdapat pula Gunungapi Cendako di Takalar yang meletus pada tahun 3000 SM, namun endapan lava yang dihasilkan umurnya lebih tua daripada endapan lava Gunungapi Lompobattang. Jenis batuan dari gunung api Cendako disebut baturape cendako.
Adapun bangunan Benteng Ujung Pandang dikelilingi selokan menuju ke laut dan menurut cerita bahwa mempunyai terowongan bawah tanah berbentuk setengah lingkaran menuju Benteng Toa (sekarang telah dibangun gedung BNI-46 di Jln.Jend.Sudirman) melewati di bawah Lapangan Karebosi. Di sebelah utara Benteng Ujung Pandang terdapat jalan lurus dari Benteng Ujung Pandang ke timur menuju Bontoala (sekarang Jln.A.Yani dan Jln.G.Bulusaraung).
Pemberian nama menjadi Benteng Ujung Pandang, menurut Dr.B.F.Matthes, bahwa di tempat didirikan benteng banyak tumbuh nenas, yang dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut "pandang", sehingga benteng ini disebut Benteng Jumpandang (Ujung Pandang). Sedangkan menurut orang-orang tua, bahwa di tempat Benteng Ujung Pandang didirikan banyak terdapat pohon “pandang” yang daunnya dapat dibuat anyaman menjadi tikar, topi, dan kerajinan lainnya.
Kampung Bontoala yang menurut Dr.Abd.Rachman Dg.Palallo dalam Varia Makassar, disebutkan bahwa “Jauh sebelum agama Islam memasuki Bontoala, menjadi adat kebiasaan bagi raja Gowa dan raja Tallo pada tiap-tiap tahun sehabis upacara "appalili" pada sawah kerajaan yang bernama kanrobosi' (karebosi) mengadakan pesta makan minum dengan memakan lawara paccalli, ialah kelelawar, anak tikus yang baru lahir. Sesudah makan minum di sawah kerajaan, barulah menuju Bontoala menyabung ayam dan bermain judi sepuas-puasnya. Jadi pada dewasa itu negeri Bontoala adalah sebuah tempat beramai-ramai dan bersuka-sukaan”.
Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, selain Sombaopu, Makassar pada waktu itu sudah membentuk suatu kota menurut ukuran masa itu, dengan pusat keramaian terletak di Bontoala dan Benteng Ujung Pandang yang dihubungkan jalan antara Benteng Ujung Pandang, Benteng Toa, dan Kampung Bontoala, serta adanya taman-taman yang dibuat orang Portugis di Kampung Pattunuang.
Pada waktu Raja Gowa ke-10 I-Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelar Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) menjadi Raja Gowa ke-10, Benteng Sombaopu dikembangkan dan dibangun dari batu bata. Menyusul pada tahun 1546 dibangun pula benteng Barombong, dan pada tahun 1550 Benteng Kale Gowa diberi pula batu bata.
Selain Kerajaan Gowa yang sudah terkenal ke beberapa kerajaan diluar Sulawesi, terdapat pula kerajaan besar yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan Luwu. Antara Kerajaan Bone dan Kerajaaan Gowa sering terjadi permusuhan.
Di Kerajaan Bone terjadi penggantian raja setelah La Ulio BotoE meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya yaitu La Tenrirawe Bongkangnge (1560-1578). Pada masa pemerintahaanya, kerajaan Gowa menyerang kerajaan Bone berhubung Raja TellulimpoE (Bulo-bulo, Lamatti, Tondong) yang masuk wilayah kerajaan Gowa menggabungkan diri dengan kerajaan Bone. Pada akhir peperangan tercapai kesepakatan mengenai batas wilayah kedua kerajaan yaitu Sungai Tangka. Kesepakatan ini disebut “Jori’ Dewata” atau Garis Dewata.
Setelah Tunipalangga Ulaweng wafat, belaiu digantikan oleh saudaranya yaitu I-Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565) sebagai Raja Gowa ke-11. Baru saja dua puluh hari dilantik, ia berangkat ke Bone melanjutkan perang dengan Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge. Dalam pertempuran, Kerajaan Gowa dipimpin langsung oleh rajanya, sampai ia tewas di Pappolo dipancung oleh pasukan Bone yang bernama La Turu (La Tunru). Atas usaha Kajao Laliddo (La Mellong), cendekiawan dan penasehat raja Bone atau Arung Pone, jenasah Raja Gowa I-Tajibarani diantar ke Gowa untuk disemayamkan. Raja Gowa ini hanya memerintah selama 40 hari lamanya yang kemudian diberi gelar Tunibatta.
Untuk menggantikan kedudukannya, ia digantikan oleh puteranya yaitu I-Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Langkasa dengan gelar Tunijallo sebagai Raja Gowa ke-12 (1565-1590). Tunijallo dalam menjalankan pemerintahannya kembali mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Bone sebagai akibat peperangan sebelumnya. Untuk melakukan perdamaian itu, diutuslah Raja Tallo Mappatakangkangtana Karaeng Pattingalloang Tumenanga ri Makkoayang bersama-sama Gallarang Mangngasa dan Lomo Manrimisi menemui Raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkangnge yang didampingi oleh Kajao Laliddo. Dalam pertemuan itu, tercapai persetujuan perdamaian yang disebut CappaE ri Caleppa (Perjanjian di Caleppa) tahun 1565. Perjanjian ini sangat menguntungkan pihak Kerajaan Bone.
Tunijallo memperisterikan putri Raja Tallo Mappatakangkangtana Karaeng Pattingalloang Tumenanga ri Makkoayang yang bernama I-Sambo Daeng Ningai Karaeng Pattingalloang, yang baru berusia 15 tahun, yang juga adalah Raja Tallo ke-5 menggantikan ayahnya. Dari perkawinannya tersebut ia mempunyai anak laki-laki 8 orang dan perempuan 3 orang, diantara anak laki-lakinya adalah I-Tepukaraeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa, I-Topali, Karaeng Ujung Tanah, I-Mangngarangi Daeng Manra’bia, Karaeng Moncongsipong. Sedang anak perempuannya adalah Karaeng Tabaringang, Karaeng Bulobulo, dan Karaeng Peccelle.
Disamping hubungan yang telah dilakukan dengan Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa juga menjalin persahabatan dengan Kerajaan Mataram, Johor, Banjarmasin, dan Ternate. Dalam tahun 1580 Sultan Ternate Baabullah (1570-1583) berkunjungan ke Makassar setelah mengunjungi Selayar yang menjadi daerah taklukannya. Dalam kunjungan ini, Sultan Baabullah dengan Tunijallo tercapai kesepakatan bahwa Sultan Ternate menyerahkan kembali Pulau Selayar yang telah lama dikuasainya kepada Kerajaan Gowa, dan mengajak Raja Gowa Tunijallo untuk memeluk agama Islam.
Selanjutnya hubungan antara kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone mengalami lagi keretakan, perjanjian yang telah dibuat dengan Kerajaan Bone tidak dapat dipelihara. Pada tahun 1585 terjadi lagi peperangan antara Kerajaan Bone dengan Gowa. Akhirnya Tunijallo wafat karena dibunuh oleh pengawalnya sendiri pada saat penyerangan ke Bone. Tunijallo digantikan oleh putranya yaitu I-Tepukaraeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa dengan gelar Tunipassulu sebagai Raja Gowa ke-13 (1590-1593). Pada waktu diangkat menjadi raja Gowa ia baru berumur 15 tahun. Dua tahun kemudian Tunipassulu dipecat dari jabatannya oleh Dewan Kerajaan (Bate Salapang) karena perbuatan baginda yang sewenang-wenang yang tidak disukai oleh rakyatnya.
Setelah Tunipassulu dipecat, menyusul ibunya I-Sambo Daeng Ningai Karaeng Pattingalloang yang juga adalah Raja Tallo menyerahkan tahtanya kepada adik tirinya yaitu I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka sebagai Raja Tallo ke-6 yang baru berusia 20 tahun. Nama lain I-Mallingkaang Karaeng Katangka adalah Karaeng Kanjilo (sebelum menjadi raja Tallo), Karaeng Segeri (setelah Segeri dikalahkan), Karaeng ri Tallo (setelah menjadi Raja Tallo), dan Karaeng Matoaya ri Tallo (setelah Agama Islam diterima secara resmi di Kerajaan Gowa dan Tallo). Penyerahan tahta oleh I-Sambo Daeng Ningai Karaeng Pattingalloang disebabkan pula karena ayahnya meninggal dunia. Tunipassulu akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 Juni 1617 di Buton.
Dengan dipecatnya Tunipassulu sebagai raja Gowa, maka ia digantikan oleh adiknya yaitu I-Mangngarangi Daeng Manrabia (1593-1639) sebagai Raja Gowa ke-14 yang pada waktu itu baru berusia 7 tahun. Berhubung karena ia masih dibawa umur, maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa yaitu I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka atau Karaeng Matoaya ri Tallo yang juga adalah Raja Tallo.
Untuk melengkapi pertahanan di Benteng Sombaopu, pada tahun 1593 dibuat sebuah meriam dengan panjang 6 meter, garis tengah (radius) lubang mulut 41,4 cm, berat meriam ±500 kg. Meriam ini dijuluki “Meriam Ana’ Mangkasar” dan dipasang dalam benteng Sombaopu.
Mata uang VOC tahun 1602-1799. |
Kedatangan orang Belanda pertama-tama hanyalah bertujuan untuk melakukan perdagangan yang terdiri dari beberapa "Perserikatan dagang". Kemudian perserikatan-perserikatan digabung kedalam suatu badan yang diberi nama "Verenigde Oost-Indische Compagnie". Setelah mendapat hak kekuasaan tertentu (octrooi) dari Staten Generaal di Negeri Belanda, yaitu hak untuk berdagang sendiri, maka pada pada tanggal 20 Maret 1602 didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kemudian haknya diperluas dengan:
- mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Nusantara (Indonesia).
- membentuk tentara.
- membentuk pemerintahan, mengadakan pengadilan dan kepolisian.
Sebagai langkah awal, Belanda mulai melakukan perjanjian dengan raja-raja dan mendirikan loji (asrama) dan kantor dagang. Kantor dagang pertama didirikan di Banten pada tahun 1603 dengan kepalanya Francois Wittert. Menyusul pada tahun 1605 Belanda mulai pula menginjakkan kakinya di Ternate, dengan terlebih dahulu merebut benteng Portugis di Amboina pada tanggal 23 Pebruari 1605. Namun benteng ini dapat direbut kembali oleh bangsa Portugis. Pada tanggal 26 Juni 1607 Belanda dapat menguasai Ternate setelah Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli dengan VOC.
Dengan adanya hak yang diberikan oleh Staten Generaal, VOC melakukan aturan-aturan hukum yang dipaksakan bagi orang-orang pribumi di daerah perdagangan yang dijalankan diatas kapal dagang (konkordan). Pada tahun 1610 Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang oleh pengurus pusat VOC di Belanda untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara istimewa. Peraturan tersebut diumumkan melalui plakat.
Adapun kerajaan Gowa dan Tallo yang diperintah oleh I-Mangngarangi Daeng Manrabia yang menginjak dewasa, pada bulan September 1605 tiga ulama tiba di Tallo, yaitu Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' (Datuk) Ribandang yang berasal dari Minangkabau Sumatra Barat bersama dengan Khatib Sulaiman atau Dato' (Datuk) Patimang dan Khatib Bungsu atau Dato' (Datuk) ri Tiro. Ketiga khatib ini dikirim oleh Raja Aceh Sultan Iskandar Muda untuk menyebarkan Agama Islam. Menurut cerita dari Jawa, Datuk Ribandang adalah salah satu murid Wali Songo yaitu Sunan Giri. Datuk Ribandang kemudian dapat meng-islamkan Mangkubumi atau Raja Tallo I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka bertepatan pada malam Jumat tanggal 22 September 1605 atau 9 Jumadil-awal 1014 H, kemudian disusul Raja Gowa I-Mangngarangi Daeng Manrabia dan penduduk kerajaan Gowa-Tallo. Setelah Raja Gowa I-Mangngarangi Daeng Manrabia memeluk agama Islam, maka ia diberi gelar Sultan Alauddin. Dari hikayat Kutai, disebutkan bahwa Datuk ri Bandang bersama Tuan Tunggang Parangan juga ke Kutai mengajarkan Agama Islam, tetapi Datuk ri Bandang kembali lagi ke Makassar.
Dua tahun sesudah Raja Gowa Sultan Alauddin memeluk agama Islam, pada hari Jumat, tanggal 9 Nopember 1607 atau 19 Rajab 1016 H diadakanlah sembahyang Jumat pertama di Masjid Tallo dan dinyatakan bahwa penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk Agama Islam dan sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa-Tallo. Bersamaan dengan itu, di Masjid Mangallekana di Sombaopu juga diadakan sembahyang Jumat, (peristiwa sejarah inilah dijadikan sebagai hari jadi Kota Makassar yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2000, tanggal 28 Pebruari 2000).
Semasa Sultan Alauddin memangku raja Gowa bersama mangkubuminya Raja Tallo I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka, rakyat hidup makmur, aman, dan damai. Hasil pertanian, perikanan, dan peternakan melimpah serta membuka lapangan pekerjaan seperti pertukangan dan membuat perahu, senjata keris, tombak, alat pertanian. Selain itu, beliau juga taat menjalankan syariat Islam dan menyebarkan Agama Islam keseluruh daerah kekuasaannya termasuk kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi.
Kerajaan Makassar yang sudah terkenal sampai keseluruh Nusantara sebagai penghasil dan pengekspor beras dan ternak, memiliki pelabuhan yang ramai dan strategis karena merupakan pelabuhan transito perdagangan antara Malaka dan Maluku serta banyaknya pedagang dari Portugis, Makao, Cina, Jepang, Sailan, Gujarat, menyusul kemudian pedagang dari Inggris dan Denmark. Hubungan dagang antara Makassar dan Ternate juga sejak lama sudah berjalan dengan baik, karena Ternate adalah penghasil cengkeh dan pala yang sangat diperlukan oleh bangsa-bangsa di Eropa, demikian juga hubungan dagang yang dilakukan oleh pedagang-pedagang Bugis dan Makassar dengan Malaka, sehingga bangsa Belanda ingin pula menguasai daerah perdagangan di Makassar yang menganggap Kerajaan Makassar sebagai saingan perdagangan. Selain itu, pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur mulai merosot sehingga pelabuhan Makassar menjadi pusat penyalur bahan makanan yang diperlukan oleh para pedagang. Disamping rempah-rempah dan beras yang dipasarkan di Kerajaan Makassar, terdapat pula sutra, emas, porselin, berlian, intan, kayu cendana, budak dan lain-lain.
Setelah VOC mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Ternate dan berhasil menguasai Ternate, maka Laksamana Belanda Cornelis Matelief mengirim saudagar ke Sombaopu untuk mengadakan kerjasama perdagangan dengan raja Gowa. Pada tanggal 21 Maret 1607 bangsa Belanda tiba di Pelabuhan Makassar dan membuka kantor dagang dalam tahun itu juga dan mengangkat Claes Leursen sebagai Kepala Kantor Dagang. Selain itu, dibangun pula loji (asrama) disebelah utara Benteng Ujung Pandang. Tempat ini kemudian diberi nama Stad Vlaardingen, oleh penduduk pribumi dinamakan Kampung Balandaya.
Pada tanggal 19 Desember 1610 Pieter Both diangkat oleh Staten General menjadi Gubernur General Pertama di Hindia Belanda dengan didampingi oleh Raad van Indie untuk mengepalai VOC yang telah dibentuk sejak tanggal 20 Maret 1602. Pada masa Gubernur General Pieter Both, dibentuklah angkatan perang Belanda, dan pemerintahan (kekuasaan) dilakukan secara terpusat guna menghadapi kekuasaan Portugis dan Spanyol di Hindia Belanda.
Setelah Belanda membuka perwakilan dagang di Kerajaan Makassar, menyusul Inggris tahun 1613, Spanyol tahun 1615, Denmark tahun 1615, dan kemudian pada tahun 1618 Cina juga membuka perwakilan dagangnya. Kerajaan Makassar pada waktu itu, telah berkedudukan sebagai pusat perniagaan dan pangkalan bagi pedagang dan pelaut Makassar, pelabuhan transito, bandar niaga internasional. Kemajuan yang dicapai Makassar ternyata tidak memuaskan pedagang Belanda. Mereka tidak menginginkan pedagang Eropa berkeliaran di Makassar. Bagi pedagang Belanda, pedagang Eropa lainnya adalah saingan.
VOC mendesak Raja I-Mangarrangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin (1593-1639) agar tidak menjual beras lagi kepada orang Portugis di Malaka. Namun, ditolak oleh raja, yang tidak memuaskan Belanda sehingga pecah peristiwa Enkhuyzen pada tanggal 28 April 1615. Peristiwa ini bermula ketika kapal Enckhuyzen, yang berlabuh di Pelabuhan Makassar, diselenggarakan acara malam ramah-tamah dengan para pembesar dan bangsawan Kerajaan Makassar. Acara ini diselenggarakan sehubungan dengan dicapainya kesepakatan antara pedagang Belanda di Makassar dan pihak dewan kapal (scheepsraad) setelah mengajukan keluhan mengenai berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi berkenan dengan kebijakan ekonomi Kerajaan Gowa. Ketika para undangan tiba diatas kapal, diantaranya Syahbandar Makassar (Encik Husen) dan dua orang anggota keluarga kerajaan, pihak Belanda berusaha melucuti persenjataan mereka sehingga terjadi perlawanan yang menelan korban jiwa. Dalam peristiwa ini Belanda berhasil menawan Encik Husen dan dua orang anggota keluarga raja, yang kemudian di bawah berlayar ke Banten. Kapal Enkhuyzen yang dinakhodai Dirck de Vries, tiba di Pelabuhan Makassar pada tanggal 2 April 1615. Ketika itu koopman (pedagang) VOC di Makassar adalah Abraham Sterck datang ke kapal dan mengungkapkan perasaan tidak puasnya.
Kembali kepada Kerajaan Makasar yang semakin ramai dengan kedatangan bangsa-bangsa lain di Sombaopu, dalam tahun 1632 seorang bangsawan Melayu yaitu Datuk Maharajalela beserta dua kemanakannya suami isteri datang pula menetap di Sombaopu. Selanjutnya oleh orang-orang Melayu yang sudah lama menetap di Sombaopu, mengangkat Datuk Maharajalela sebagai kepala orang-orang Melayu dengan gelar Datuk Penggawa.
Perang pertama kerajaaan Gowa dengan Belanda terjadi pada tahun 1631-1634, yaitu sewaktu raja Gowa mengirim 100 perahu perang ke Ambon untuk membantu rakyat Ambon memerangi Belanda di perairan Maluku. Perang ini dikenal dengan Perang Hongi. Setelah peristiwa itu, pada tahun 1635 Belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan mulai menembaki Benteng Galesong, namun serangan ini gagal kerena perahu perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik menghindari bentrokan. Setahun sebelum peristiwa itu, Benteng Galesong yang sebelumnya terbuat dari tanah telah diubah dan dibuat menjadi batu.
Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) yang dibangun sejak masa pemerintahan Tumapa'risi Kallonna, kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh Tunipallangga Ulaweng, selanjutnya pada masa Raja Gowa Sultan Alauddin, tepatnya tanggal 9 Agustus 1634 dibuat dinding tembok Benteng Ujung Pandang dari batu tufa vulkanik yang telah dibentuk dan disusun, dan pada tanggal 23 Juni 1635 dibuat lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang sehingga menyerupai seekor penyu. Luas benteng Ujung Pandang adalah 147,5 m x 125 m. Benteng Ujung Pandang yang dibangun secara besar-besaran itu, meniru arsitektur Eropa pada zaman itu.
Setelah itu, diperintahkan pula membangun sebuah benteng terletak antara Sombaopu dengan Barombong. Benteng ini di bangun di tempat yang rindang dan sejuk di pinggir pantai sebagai tempat untuk beristirahat, yang diberi nama Benteng Panakkukang artinya "Tempat yang merindukan" yang letaknya disebelah selatan Benteng Sombaopu. Selain itu, juga dibangun Benteng Ana' Gowa di Taeng, Benteng Galesong di pesisir pantai Galesong, dan sebuah benteng kecil diantara Benteng Panakkukang dan Benteng Sombaopu di muara Sungai Garassi (sekarang Sungai Je'neberang) yang dberi nama Benteng Garassi. Dalam tahun 1650, pada masa pemerintahan Raja Gowa Sultan Malikussaid (1639-1653), area perkampungan Sombaopu memanjang dari selatan Benteng Garassi sampai ke utara Kampung atau Benteng Bontokeke, dan sepanjang pinggiran sungai ke timur. Di bagian utara benteng terdapat pasar besar dan di selatan benteng terdapat pasar kecil. Pasar ini dikepalai "Jannang Pasara" yang memungut bea pasar untuk kerajaan. Di muara Garassi terdapat tiga dermaga dan diseberang sungai dekat benteng Panakkukang terdapat pangkalan kapal layar kerajaan. Dari Benteng Garassi terdapat dua jalur jalan menuju Benteng Sombaopu, dan dari Benteng Sombaopu ke utara terdapat satu jalur jalan menuju ke pemukiman Portugis. Selain pemukiman Portugis terdapat pula pemukiman Denmark, Inggris, Arab Moor, dan Ternate. Sedangkan Kampung Mangallekana di tempati orang Melayu.
Selain membangun benteng, di bangunlah masjid yang terletak di Kampung Bontoala pada tanggal 10 Nopember 1635. Satu tahun setelah pembangunan masjid, I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka Mangkubumi Kerajaan Gowa meninggal dunia pada tanggal 1 Oktober 1636. Selanjutnya Karaeng Katangka diberi gelar Tumenanga ri Agamana. Adapun yang menggantikan Karaeng Katangka adalah putranya yaitu I-Mangadacini Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang. Karaeng Pattingalloang sangat disegani, bijaksana, dan mempunyai pengetahuan yang luas dan terkenal pandai dan berani serta menguasai bahasa Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Arab.
Pada tanggal 26 Juni 1637 untuk pertama kali diadakanlah perjanjian di Benteng Sombaopu antara Raja Gowa Sultan Alauddin dengan Belanda (VOC) yang dipimpin oleh Cornelius Matelief. Dalam perjanjian, Belanda dapat melakukan perdagangan bebas dengan ketentuan tidak diperkenankan menetap di Sombaopu. Sedangkan usulan Belanda melarang Portugis dan Inggris berdagang di Makassar ditolak oleh Sultan Alauddin.
Dua tahun setelah mengadakan perjanjian dengan Belanda, Sultan Alauddin meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1639 setelah ia memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Sehari sebelum meninggal dunia, Sultan Alauddin telah menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yaitu I-Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung bergelar Sultan Malikussaid (1639-1653). Beliau dilantik menjadi Raja Gowa ke-15 pada tanggal 15 Juni 1639, yang masih dalam suasana berkabung.
Sultan Malikussaid dilahirkan pada tanggal 11 Desember 1606. Ia seorang bangsawan yang berani dan bijaksana tanpa membedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Dalam menjalankan pemerintahan ia masih didampingi oleh Mangkubumi I-Mangada'cinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang juga sebagai raja Tallo. Dari pengalaman dan pengetahuan luas yang dimilki Karaeng Pattingalloang, raja Gowa mengadakan persahabatan dengan beberapa penguasa seperti Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa (India), penguasa di Keling (Koromandel - India), raja Inggris, raja Portugal, raja Kastilia (Spanyol) dan Mufti di Makkah. Mufti inilah yang memberi gelar Sultan Muhammad Said atau Malikussaid.
Dalam masa pemerintahan Malikkussaid, pada tahun 1644 Kerajaan Gowa kembali menyerang Kerajaan Bone, yang akhirnya Kerajaan Bone dengan rajanya La Maddaremmeng dapat dikalahkan dan ditawan di kampung Sanrangang salah satu kampung di pesisir sungai Garassi (Jeneberang), menyusul beberapa keluarga dari Kerajaan Bone di tawan dan di bawa ke Gowa yaitu Arung Tana Tengnga Toa, We Tenrisui Datu Mario-Riwawo (ibu Arung Palakka), Arung Belo, Arung Apanang (nenek Arung Palakka), Lapottobunne Arung Tana Tengnge (ayah Arung Palakka), Daeng Mabela dan lain-lain. Sedangkan La Tenriaji saudara raja Bone yang di angkat rakyatnya menjadi raja Bone di asingkan ke Siang (Pangkejene) sampai akhirnya meninggal dunia di Siang, sehingga ia diberi gelar "Matinroe ri Siang".
Sultan Malikkussaid, walaupun terikat perjanjian dengan Belanda yang dibuat oleh raja Gowa sebelumnya, tetap membantu rakyat Ambon dengan rajanya Kimelaha yang berkedudukan di Luhu (Ambon). Ini terjadi sewaktu Raja Kimelaha meminta bantuan kepada raja Gowa, dan oleh raja Gowa pada bulan Januari 1653 mengirim 30 buah perahu perang dan pasukan untuk membantu Ambon melawan Belanda (VOC). Atas bantuan itu, pada tanggal 21 Oktober 1653 Belanda memaklumkan perang dengan kerajaan Gowa.
Dalam usia 47 tahun, Sultan Malikkusaid meninggal dunia pada tanggal 5 Nopember 1653, yang selanjutnya diberi gelar Tumenanga ri Papambattunna. Adapun yang menggantikannya adalah putranya yaitu I-Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe yang diberi gelar Sultan Hasanuddin (1653-1669). Pada waktu itu Sultan Hasanuddin masih berusia 22 tahun.
Sultan Hasanuddin lahir pada malam Jumat tanggal 12 Januari 1631 dari ibunya bernama I-Sabbe To’mo Takuntu putri bangsawan Laikang. I-Sabbe To’mo Takuntu merupakan salah seorang isteri Sultan Malikkussaid. Sultan Hasanuddin mempunyai seorang saudara perempuan bernama I-Sani atau I-Patimang Daeng Nisakking Karaeng Bontoje’ne yang kemudian menjadi permasuri Sultan Bima Ambela Abul Chair Sirajuddin.
Sultan Hasanuddin yang dilantik sebagai Raja Gowa ke-16 pada tanggal 16 Nopember 1653, beliau tetap menetap di Benteng Sombaopu. Dua tahun kemudian Sultan Hasanuddin mengawini I-Bate Daeng Tommi atau I-Lo’mo Tombong Karaeng Pabineang putri Karaeng Pattingalloang (Mangkubumi Kerajaan Gowa).
Pada awal masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin masih didampingi oleh Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah Karaeng Pattingangllaong wafat pada tanggal 15 September 1654, maka yang menjadi mangkubumi adalah Karaeng Karunrung dan menetap di Bontoala dengan sebuah rumah yang besar menyerupai istana yang indah. Dindingnya mempunyai hiasan dan benda-benda berasal dari Eropa dan Cina. Karaeng Karunrung sangat ditakuti oleh semua orang karena kejam terhadap orang yang tidak disukai.
Untuk mempertahankan kerajaan Gowa dari serangan Belanda, oleh Sultan Hasanuddin memerintahkan membangun lagi sebuah benteng yang disebut Benteng Mariso. Dengan selesainya benteng itu, maka Makassar telah dikelilingi beberapa benteng memanjang dari utara keselatan yaitu Benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Barobboso, Mariso, Sombaopu, Garassi, Panakkukang, Ana' Gowa, Kale Gowa, Barombong, Galesong dan Sanrobone yang sebagian besar berada dipesisir pantai Makassar.Keseluruhan benteng yang telah dibangun, Benteng Sanrobone adalah yang paling luas.
Dengan adanya keinginan politik Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara dalam upaya menanamkan hegemoninya termasuk di Kerajaan Gowa, maka VOC mulai menekan Kerajaan Makassar dan membatasi ruang gerak para pedagang Makassar di Ternate. Namun keinginan itu mendapat perlawanan dari Kerajaan Gowa yang menimbulkan pertempuran baik dilaut maupun di daratan Sulwesi Selatan sendiri. Ketegangan mulai terjadi dari tahun 1655 sampai dengan 1669 yang menimbulkan perang besar antara Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin dengan pasukan VOC. Untuk menghadapi pasukan Kerajaan Gowa dikirimlah pasukan VOC dari Batavia dibawah pimpinan Speelman yang tiba di Makassar pada tanggal 19 Desember 1666. Dalam peperangan dengan Kerajaan Gowa, VOC dibantu oleh pasukan dari Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka seorang bangsawan dari Kerajaan Bone yang mempunyai rasa dendam terhadap bangsawan Gowa atas perlakuannya terhadap keluarganya. Selain itu, bantuan Arung Palakka juga bertujuan untuk melepaskan kekuasaan Kerajaan Gowa terhadap Kerajaan Bone. Dilain pihak pasukan Kerajaan Makassar dipimpin oleh Karaeng Lengkese, Karaeng Karunrung dan Maradia Balanipa dengan jumlah pasukan semua kurang kebih 30.000 orang.
Dalam penyerangan di bagian selatan yang dipimpin oleh Arung Palakka, pertama kali yang diserang adalah Benteng Galesong dan berhasil diduduki pada akhir Agustus 1667, disusul Benteng Barombong yang berhasil pula diduduki pada malam hari tanggal 22 Oktober 1667. Selanjutnya berturut-turut benteng-benteng dan pertahanan lainnya seperti Panakkukang, Ujung Pandang. Dengan kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Kerajaan Gowa akhirnya dibuatlah perjanjian antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh Raja Gowa Sultan Hasanuddin dan VOC diwakili oleh Speelman. Perjanjian ditandatangani di Kampung Bungaya, Barombong bertepatan pada hari Jumat tanggal 18 Nopember 1667 yang isinya terdiri dari 30 pasal yang sangat menguntungkan VOC. Perjanjian ini kemudian disebut Cappayya ri Bungaya (Perjanjian Bungaya) atau Het Bongaisch Verdrag. Pokok-pokok dari perjanjian, antara lain :
- Melepaskan seluruh tawanan pegawai VOC (Pasal 2);
- Menyerahkan barang VOC yang disita (Pasal 3);
- Mengusir semua bangsa Eropa yang berdagang di Makassar (pasal 6);
- Hanya membolehkan VOC yang berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban (Pasal 8);
- Melarang orang Makassar berlayar ke Maluku (Pasal 9);
- Membongkar benteng-benteng pertahanannya (Pasal 10);
- Menyerahkan Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC (Pasal 11).;
- Kerajaan Makassar diwajibkan membayar kerugian perang (Pasal 13);
- Melepaskan koloni-koloninya (Pasal 14 dan 16 hingga 21).
Berdasarkan perjanjian itu, benteng Barombong, Panakkukang, Garassi, Mariso, Barobboso dihancurkan, sedangkan Benteng Ujung Pandang beserta kampung dan tanah disekitarnya diserahkan kepada VOC. Selain itu, Kerajaan Gowa harus melepaskan haknya atas Buton, Wajo, Bulo-bulo, Mandar, Pulau-pulau Sula dan lain-lain pulau yang termasuk kekuasaan Ternate, seperti Selayat, Muna dan seluruh daerah-daerah di pesisir timur Sulawesi yaitu mulai dari Sanana sampai Manado, pulau-pulau Gapi, Banggai dan lain-lainnya yang terletak antara Mandar dan Manado, seperti Lambagi, Kaidipan, Buwol, Toli-toli, Dampelas, Balaisang, Silensak dan Kaili.
Adapun Benteng Sombaopu tetap di bawah kekuasaan raja Gowa. Selanjutnya, pada tanggal 21 Nopember 1667 Admiral Cornelis Janszoon Speelman mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam. Pemberian nama sesuai dengan nama kampung kelahirannya di Negeri Belanda. Dengan dikuasainya Benteng Ujung Pandang oleh Belanda, maka rumah-rumah adat yang ada didalamnya dimusnahkan. Selanjutnya pada tahun 1686 C.J. Speelman membangun rumah permanen bentuk Eropa tiga lantai sebagai tempat tinggal menghadap keselatan membujur dari barat ke timur dengan luas bangunan 189,65 m. Di benteng inilah Speelman beserta pasukannya menetap dan menjadikan pusat pemerintahan militer dan sipil Belanda untuk meluaskan koloninya di Sulawesi. Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar Benteng Ujung Pandang dijadikan kota baru, kota dagang yang dikenal dengan nama Vlaardingen.
Adapun Arung Palakka yang pernah membantu VOC dalam perang melawan Gowa diangkat menjadi Raja Bone ke-14 (1667-1696) menggantikan La Maddaremmeng Matinroe ri Bukaka (1631-1640) setelah selama 17 tahun Kerajaan Bone di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa, namun Arung Palakka tetap tinggal di Makassar.
Dengan kekalahan Sultan Hasanuddin, Kota Makassar akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu Benteng Ujung Pandang dan sekitarnya sampai ke utara di bawah kekuasaan Belanda kecuali Kerajaan Tallo, sedangkan di bagian selatan yaitu Benteng Sombaopu dan sekitarnya masih tetap dimiliki Kerajaan Gowa.
Perjanjian Bungaya yang telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin yang sangat merugikan Kerajaan Gowa menimbulkan banyak pembesar dan bangsawan Kerajaan Gowa, Wajo, Luwu, dan Mandar tidak menyetujui perjanjian tersebut. Diantaranya adalah Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Galesong, Karaeng Karunrung, Karaeng Bontomarannu, dan I-Patimah Karaeng Takontu dengan pasukan Balira. I-Patimah adalah putri Sultan Hasanuddin dari isterinya I-Daeng Talele bangsawan dari Sanrobone. Karaeng Bontomarannu yang nama lengkapnya I-Pakkebbu Daeng Jarre Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa adalah putra Karaeng Karunrung, yang juga panglima perang di Buton (1666) yang pernah ditangkap oleh Belanda, namun dapat meloloskan diri, sehingga dalam pasal 15 Perjanjian Bungaya dicantumkan bahwa Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada kompeni (VOC) untuk dihukum.
Pada tanggal 9 Maret 1668 Kerajaan Gowa memutuskan Perjanjian Bungaya tersebut sehingga menimbulkan kembali perang antara VOC dengan Kerajaan Gowa. Akan tetapi, pada bulan April sampai Juli 1668 berjangkit penyakit epidemi yang sempat meredakan peperangan beberapa bulan. Barulah pada tanggal 14 Juni 1669, Benteng Sombaopu diserang oleh Belanda, dan pada hari Jumat tanggal 24 Juni 1669 Benteng Sombaopu dapat direbut oleh Belanda setelah terjadi pertempuran selama 10 hari 10 malam. Menurut cerita penduduk di sekitar Benteng Sombaopu, bahwa sebagian dari penduduk yang ada di Benteng Sombaopu adalah keturunan dari 5 (lima) orang bersaudara berasal dari daerah Barru yang membantu pasukan kerajaan Gowa melawan pasukan Kompeni (VOC).
Dengan jatuhnya Benteng Sombaopu, Sultan Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa ke Benteng Ana' Gowa di Taeng di seberang Sungai Jeneberang, sampai akhirnya Sultan Hasanuddin mengundurkan diri sebagai raja Gowa pada tanggal 29 Juni 1669 dan menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya I-Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah. Pada tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin meninggal dunia dan dikebumikan di Pallantikang. Selanjutnya Ibukota Kerajaan Gowa dipindahkan ke Jongaya. Kampung Jongaya sebelumnya adalah tempat perburuan rusa oleh raja-raja Gowa dan bangsawan Gowa serta sebagai jalur utama jalan dari Katangka ke Jongaya, Maccini Sombala, Sombaopu, Makassar, dan Tallo, selain jalan yang menghubungkan antara Benteng Sanrobone, Barombong, dan Kaccia ke Benteng Sombaopu dan Jongaya.
Kerajaan Makassar yang telah menanamkan hegemoninya di Indonesia Timur, akhirnya mengalami kemunduran setelah VOC menjadikannya daerah koloni VOC. Dalam masa perang Makassar terjadi eksodus besar-besaran penduduk Gowa dan sekutunya Kerajaan Wajo yang membantunya dalam menghadapi pasukan VOC. Termasuk dalam eksodus itu adalah para pedagang, meninggalkan Sombaopu ibukota Kerajaan Gowa, diantaranya menuju Mandar, Kutai, Banjarmasin, Johor, Jambi, dan Banten. Demikian juga dengan pasukan kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama pasukan Makassar banyak yang meninggalkan Kerajaan Gowa menuju Madura, Mataram dan Banten serta tempat-tempat lainnya di Pulau Jawa untuk melanjutkan perjuangannya melawan VOC. Bersama I-Manindori Karaeng Galesong, I-Pakkai Daeng Labbang bersama saudaranya I-Pakkebbu Daeng Jarre Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa, dan I-Bota Burane berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 20.000 orang yang sudah mahir dalam pertempuram. Dalam perjuangan melawan VOC, pasukan Makassar sering mengadakan perompakan terhadap kapal pedagang VOC yang ditemui, sehingga oleh VOC menganggapnya sebagai bajak laut.
Pada tahun 1672 pasukan Makassar menuju Madura dan Mataram dipimpin oleh I-Manindori Karaeng Galesong untuk membantu Pangeran Trunojoyo melawan Raja Mataram Amangkurat I yang telah berpihak kepada Belanda. I-Manindori Karaeng Galesong lahir di Bonto Majannang, tanggal 29 Maret 1655 adalah putra Sultan Hasanuddin dari isterinya yang bernama I-Hatijah Lo’mo Tobo. Karaeng Galesong selanjutnya memperisterikan Kanjeng Suratna, putri Pangeran Trunojoyo, pada Desember 1675. Hubungan antara Mataram dan Makasar sangat erat dengan adanya aliansi yang telah dibuat pada tahun 1633 serta adanya hubungan perkawinan antara raja Gowa dengan seorang putri raja Mataram.
Pasukan Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu menuju Banten untuk membantu pasukan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Syekh Yusuf seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa. Namun kemudian Karaeng Bontomarannu meninggalkan Banten kembali ke Jawa Timur dan bersatu dengan Karaeng Galesong membantu Pangeran Trunojoyo melawan pasukan Belanda dan pasukan Mataram. Sebagian dari pasukan Makassar tetap di Banten. Pada tanggal 13 Oktober 1676 pasukan Trunojoyo bersama pasukan Karaeng Galesong menyerang Mataram dan berhasil menduduki Keraton Mataram, pasukan Mataram melarikan diri ke Semarang. Tanggal 24 Desember 1676 pasukan Trunojoyo melanjutkan perjuangan dan membakar Semarang. Dalam peperangan itu Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa tewas. Untuk menumpas pasukan Karaeng Galesong dan pasukan Trunojoyo, ditunjuklah Speelman memimpin pasukan Belanda yang akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1679 pasukan Karaeng Galesong dapat dikalahkan namun Karaeng Galesong sendiri dapat meloloskan diri. Karaeng Galesong yang dapat meloloskan diri akhirnya terkepung dan gugur dalam pertempuran pada tanggal 21 Nopember 1679, jasadnya dimakamkan di Ngantang, Malang.
Syekh Yusuf lahir pada tanggal 3 Juli 1626 di Sinassara, Tallo, adalah cucu dari Gallarang MoncongloE dan menantu Raja Gowa Sultan Alauddin dari putrinya, I-Sitti Daeng Nisanga. Nama ayahnya adalah Abdullah Khaidhir dan ibunya adalah Sitti Aminah anak Gallarang MoncongloE. Pada tanggal 22 September 1644 atau empat puluh hari setelah menikah dengan I-Sitti Daeng Nisanga, Syekh Yusuf yang disertai Lo'mo ri Antang menuju Banten untuk selanjutnya ke Aceh melanjutkan perjalanannya menuju tanah suci Makkah guna melaksanakan ibadah haji.
Sekembalinya Syekh Yusuf menunaikan ibadah haji pada tahun 1664 ia singgah di Banten dan pada tahun 1668 melanjutkan perjalanannya ke Gowa. Karena Kerajaan Gowa telah dikuasai Belanda, maka pada tahun 1671 ia kembali dan menetap di Banten yang kemudian memperisterikan putri Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang bernama Syarifah. Versi lain menyebutkan Syekh Yusuf tidak kembali ke Gowa akan tetapi langsung menetap di Banten. Dari isterinya Syarifah ia memperoleh anak seorang putra dan seorang putri. Ketika isterinya meninggal dunia, Syekh Yusuf kawin lagi dengan adiknya Syarifah yaitu Hatijah dan memperolah anak seorang putra dan seorang putri. Setelah dewasa, Syekh Yusuf menyuruh kedua putranya yang bernama Muhammad Abdul Kabir dan Muhammad Abdullah ke Gowa untuk mengajarkan agama Islam.
Syekh Yusuf yang telah lama berjuang di Banten akhirnya ditangkap oleh Belanda di daerah Karang (Sukapura) pada tanggal 14 Desember 1683 dan dimasukkan dalam penjara di Batavia -tanggal 12 Maret 1619 Jayakarta dirubah namanya menjadi Batavia sesuai nama suku bangsa Jerman kuno di Belanda- untuk selanjutnya dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) pada tanggal 12 September 1684 bersama keluarga dan pengikutnya. Selama di Ceylon, ia menulis beberapa buku dan banyak orang Bugis dan Makassar yang berlayar menuju Makkah untuk menunaikan haji singgah menemuinya, disamping singgah menambah perbekalan dan air minum untuk keperluan pelayaran ke Makkah, demikian juga sekembalinya dari Makkah. Belanda kemudian memindahkan lagi Syekh Yusuf ke tempat yang lebih jauh. Pada tanggal 7 Juli 1693 dengan menggunakan kapal De Voetboog, Syekh Yusuf bersama keluarga dan pengikutnya sebanyak 49 orang dipindahkan Zandvliet, Afrika Selatan, ditempat terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1699 di Faure, Cape Town. Tempat ini kemudian diberi nama Kampung Macassar (Makassar).
Adapun pasukan Bugis Makassar yang ikut bersamanya selama melawan kompeni di Banten dikembalikan ke Makassar dengan kapal Belanda yang tiba di Makassar pada tanggal 22 Maret 1684.
Sesudah istana dan benteng Sombaopu diserang oleh Belanda dan dibumihanguskan oleh orang-orang Gowa sendiri, Sombaopu yang permai musnah menjadi puing-puing. Gedung-gedung, sekolah-sekolah, masjid, gereja turut musnah, sebagian penduduknya menyingkir ke Ujung Pandang, demikian juga pelabuhan yang berpusat di Sombaopu dipindahkan ke Stad Vlaardingen.
Kampung Bontoala yang menjadi daerah kekuasaan Karaeng Karunrung akhirnya ditinggalkan termasuk istananya yang megah, bersama-sama dengan penduduk lainnya menyingkir ke Taeng di seberang Sungai Garassi yang ditempati penduduk dari Benteng Sombaopu dan sisa-sisa pasukan Kerajaan Gowa. Kampung Bontoala yang ditinggalkan diambil alih oleh Arung Palakka setelah ada kesepakatan dari C.J.Speelman, dan meminta kepada Arung Palakka untuk tetap tinggal di Bontoala, agar dapat merundingkan mengenai keamanan dan pembangunan di Sulawesi. Atas kesetiaan Arung Palakka terhadap VOC serta dapat mempersatukan kerajaan-kerajaan Bugis, maka Arung Palakka dianugerahkan seuntai kalung rantai emas berikut sebuah medali dari logam dalam suatu upacara kebesaran. Selain itu diberikan pula gaji bulanan sebesar 200 ringgit selama hidupnya.
Arung Palakka yang menetap di Bontoala, kemudian membangun sebuah istana yang istimewa menghadap ke Benteng Ujung Pandang yang dilengkapi pintu gerbang (istana tersebut terletak di pinggir Jln.Mesjid Raya sekarang). Menyusul kemudian orang-orang Bugis baik yang sudah lama berada di Sombaopu maupun pendatang dari Bone menetap di Bontoala, sehingga menjadikan Kampung Bontoala bertambah ramai. Mengenai orang Melayu yang pernah diusir oleh Karaeng Karunrung pada waktu pecah perang antara Gowa dan VOC, kembali membangun suatu perkampungan atas isin Belanda. Tempat yang disediakan adalah Malimongan, Mampu, dan Rompegading. Karena ketidak cocokan dengan orang Bugis, maka Belanda memberikan tempat di sebelah utara Stad Vlaardingen. Kampung yang ditempati orang Melayu kemudian disebut Kampung Melayu, dan selanjutnya oleh orang Melayu mengangkat pemimpin yang diberi gelar Datuk Penggawa.
Orang-orang Bugis yang berasal dari Wajo yang telah menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Bone diberikan isin oleh Belanda dan Arung Palakka untuk menetap di Makassar dan membangun perkampungan di Bontoala. Orang-orang Wajo pada umumnya adalah pedagang yang ulet dan kuat memegang adat istiadatnya. Setelah membentuk suatu perkampungan, orang Wajo mengangkat seorang pemimpin dan diberi gelar Matowa. Salah satu Matowa Wajo yang terkenal adalah Amanna Gappa. Amanna Gappa inilah yang menyusun suatu hukum pelayaran dan tata perniagaan yang terdiri dari 25 pasal pada tahun 1676 yaitu "Ade' allopiloping bicaranna pabbalue" dalam sebuah buku lontara yang digunakan oleh orang-orang Bugis dalam pelayaran dan perdagangan.
Pada waktu Sultan Abdul Jalil menjadi Raja Gowa ke-19 (1677-1709) atas kemauan Belanda dan Arung Palakka, banyak bangsawan Kerajaan Gowa tidak menyetujui dan tidak senang atas pengangkatannya sebagai raja Gowa, sehingga meninggalkan Gowa dan pindah menetap di sebelah selatan Benteng Ujung Pandang yang kemudian tempat ini menjadi Kampung Beru (Kampung Baru), di kampung ini pulalah Syekh Yusuf pernah menetap bersama isterinya I-Sitti Daeng Nisanga putri Sultan Alauddin
Benteng Ujung Pandang (Rotterdam) dan sekitarnya mulai ramai pula didiami oleh penduduk, di selatan benteng Ujung Pandang terdapat Kampung Baru, sedangkan sebelah utaranya sampai ke timur sampai ke Ujung Tanah dan Tallo telah tumbuh kampung-kampung yaitu Kampung Wajo, Kampung Melayu, Kampung Bontoala sehingga membentuk suatu kota yang ramai. Sedangkan kampung-kampung yang berada disekitar benteng Sombaopu, seperti Maccini Sombala sudah sepi dari penduduk, demikian juga kampung Mariso. Adapun kampung Sambungjawa, pada tahun 1741 Belanda menyerahkan kembali kepada raja Gowa.
Kampung Bontoala yang dalam perkembangan selanjutnya yang dikuasai oleh Arung Palakka, adalah mulai dari Pannampu sampai Mamajang. Dengan banyaknya orang-orang Bugis dari Kerajaan Bone yang menetap, terbentuklah beberapa kampung-kampung antara lain Lariangbangngi, Maccini, Maradekaya, Ga'dong, Baraya, dan Pattunuang. Oleh VOC ditempatkanlah seorang pembesar Belanda sebagai Onderkoopman.
Di kampung Bontoala beberapa Raja Bone yang menetap yaitu:
- La Temmassenge Sultan Abd.Rajab Jalaluddin Matinroe ri Malimongang (1748-1775), Raja Bone ke-21. Raja Bone ini pernah mendapat lambang (bendera) dari Belanda pada tanggal 25 Oktober 1755, bergambar dua tangan berjabat tangan dihiasi dengan gambar matahari dan bulan, dengan teks "Lima Siattinge", yang diserahkan dalam Benteng Ujung Pandang.
- La Tenrituppu Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin Petta Ponggawae Matinroe ri Rompegading (1775-1812), Raja Bone ke-22. Beliau terkenal sebagai seorang raja yang alim dan sangat aktif dalam penyiaran Agama Islam. Beberapa buku agama dikarang. Pada masa raja ini, nyanyian-nyanyian bissu yang dilakukan pada tiap-tiap malam untuk keselamatan raja-raja di Bontoala diganti dengan zikir.
- Toappatunru Arung Palakka Sultan Achmad Ismail Mahatajuddin Matinroe ri Lalebata (1812-1823), Raja Bone ke-23 yang merupakan raja Bone terakhir tinggal di Bontoala.
Petta Ponggawae Matinroe ri Rompegading Raja Bone ke-22 dikenal sebagai panglima angkatan laut kerajaan Bone menetap di Rompegading sebagai basis pertahanan kerajaan Bone di Makassar.
Belanda yang melihat orang Melayu pernah membantu dalam pertempuran melawan Kerajaan Gowa, maka pemimpinnya yang bergelar Datuk Penggawa diganti dengan gelar baru ialah pangkat Kapten Melayu, dengan tujuan untuk melaksanakan kepentingan dan kekuasaan orang Belanda. Kapten Melayu yang pertama adalah Incik Cuka Abdul Rasul yang diangkat pada tanggal 28 Mei 1706. Setelah kepentingan dan kekuasaan Belanda bertambah, ditambah lagi jabatan baru bagi orang Melayu dengan pangkat Luitnant. Pada tanggal 17 Juni 1751 diangkatlah Intjek Morsideng sebagai Luitnant Melayu mendampingi Kapten Melayu Intjik Bungsu.
Setelah Makassar terbuka bagi seluruh bangsa, berduyung-duyunglah orang-orang dari luar negeri datang ke Makassar, misalnya : orang-orang Cina (Tionghoa), Melayu, Maluku, Jawa dan lain-lain. Kedatangan imigrasi orang-orang Cina di kota-kota pelabuhan yang telah dikuasai oleh VOC termasuk Makassar sangat dianjurkan oleh VOC untuk dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang. Orang-orang Cina yang tiba di Makassar diberi tempat (perkampungan) tersendiri oleh Belanda yaitu disebelah utara Benteng Rotterdam berdekatan dengan pelabuhan yang telah dipindahkan dari Sombaopu ke Stad Vlaardingen. Tempat itu berdekatan dengan perkampungan orang-orang Melayu. Orang Cina pada umumnya berasal dari Macao yang mempunyai keahlian dibidang pertukangan dan kerajinan. Disamping keahlian yang dimilikinya, tradisi dan kebudayaan tetap dipertahankan sampai sekarang. Sama halnya dengan orang-orang Melayu, maka orang-orang Cina di Makassar mempunyai pula pemimpin yang diberi pangkat Kapten dan Luitnant. Menurut beberapa sumber, bahwa orang Tionghoa yang masuk ke Makassar sebagian besar adalah pengungsi dari Pulau Jawa berhubung terjadinya pemberontakan orang-orang Cina di Batavia (Jakarta) terhadap Belanda pada bulan 7 Oktober 1740, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Adriaan Valckemer (1737-1741), sehingga rumah-rumah dan perkampungan Cina dibakar yang menewaskan ribuan orang Cina.
Kekalahan Kerajaan Gowa dari VOC tidak mengurangi perjuangan rakyat dari Kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan lainnya terhadap VOC. Ini terlihat adanya perlawanan antara lain, Kerajaan Wajo di bawah rajanya yang bergelar Arung Matowa Wajo ke 34 La Maddukelleng (1736-1765) dibantu menantunya Aji Sultan Muhammad Idris, Raja Kutai Kertanegara ke 14 (1732-1739) kembali bersama-sama dengan pasukan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Bontolangkasa Pabbicara Butta Gowa membangun kekuatannya melawan Belanda di Makassar. Pada bulan Mei 1739 kedua tokoh anti Belanda itu mewujudkan serangannya kepada Belanda dengan menyerang beberapa daerah kekuasaan Belanda di Makassar, seperti kampung Maccini dan Maricayya. Akan tetapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Wajo dan Gowa tidak berhasil, karena orang-orang Bone yang bergabung dengannya berbalik menentangnya. Dalam peperangan ini, Aji Sultan Muhammad Idris luka berat yang selanjutnya meninggal dunia dan dimakamkan di Sengkang. Aji Sultan Muhammad Idris memperisterikan Aji Putri Agung salah seorang putri La Maddukelleng dengan Andeng Ajeng putri Raja Pasir. Adapun Karaeng Bontolangkasa juga gugur dalam penyerangan itu.
Selanjutnya pada tahun 1776 terjadi lagi perlawanan terhadap VOC dari Gerakan Batara Gowa yang dipimpin oleh Amas Madina. Amas Madina diberi gelar Batara Gowa I-Sangkilang pada Juni 1758 semasa beliau masih menjadi raja Gowa yang diangkat pada tanggal 21 Desember 1753, yang kemudian pada tahun 1766 secara diam-diam meninggalkan tahtanya mengembara ke tempat lain. Dalam pergerakan itu, ia menentang VOC dan berusaha merebut tahta kerajaan Gowa. Dalam perlawanannya ia berhasil merebut Pos VOC di Maros pada Mei 1777, namun dalam bulan itu juga dapat diambil alih oleh Punggawa Datuk Baringeng dari Kerajaan Bone tanpa perlawanan. Bone memperkuat kekuasaanya di daerah itu, yang oleh VOC sangat potensial karena Maros dan sekitarnya merupakan penghasil beras yang dapat diekspor. Akhirnya pada bulan Juli 1778, VOC dapat memadamkan Gerakan Batara Gowa dengan berhasilnya menangkap Batara Gowa I-Sangkilang, dan kemudian diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 1767, disana ia meninggal dunia pada tahun 1795.
Maros yang dikuasai oleh Bone tidak dapat diambil alih berhubung pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa (1780-1784). Perang ini sangat mempengaruhi keuangan VOC yang memasuki masa kritis karena kelangkaan peredaran uang dan terbatasnya bahan baku untuk pembuatan mata uang logam, sehingga VOC mulai melemah, ditambah dengan pecahnya Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang mengakibatkan pendudukan oleh Inggris atas wilayah kekuasaan Belanda di Timur dan Barat.
Mengingat perdagangan yang dilakukan oleh VOC yang dibentuk sejak tanggal 20 Maret 1602 mengalami terus kerugian. Tahun 1798 Pemerintah Belanda campur tangan dan pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan, sehingga kekuasaan VOC di Nusantara berakhir dan semua kekayaan dan hutang piutang VOC diambil alih oleh Bataafsche-Indie Republiek (Republik Batavia-India), termasuk hutang-hutang sebesar + f 120 juta.
Dengan berakhirnya masa VOC, pada tahun 1806 Belanda membentuk Panitia Umum terdiri C.Th.Elout dan C.H.van Grasveld, bertugas menangani wilayah koloni Belanda. Panitia ini kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal pada tanggal 5 Januari 1808 menggantikan Albertus H.Wiese untuk mengadakan perobahan dan memperbaiki soal keuangan serta menjalankan pemerintahan koloni Belanda di Hindia Timur (Oost Indie) berdasarkan Titel VII Staatsregeling 1798. Serah terima berlangsung pada 14 Januari 1808.
Kekuasaan untuk mengurus semua daerah milik/ koloni di Asia dilakukan oleh suatu Raad van Aziatische Bezittingen en Etablissementen dan bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif Republik yang anggotanya diangkat oleh Dewan Eksekutif. Berdasarkan pada pasal 249 Staatsregeling, Dewan Eksekutif menetapkan suatu “charter” untuk koloni-koloni. Dengan Staatsregeling 1801, Staatsregeling 1798 diganti, yang hanya memuat 2 pasal mengenai koloni, yaitu pasal 47 dan pasal 48. Pada pasal 48 menentukan bahwa “inwendig Bestuur” dan Wet Koloni-koloni diatur dalam Charter Koloni. Selanjutnya Staatsregeling 1801 mengalami beberapa kali perubahan.
Dengan publikasi 7 Agustus 1806 diumumkan Grondwet Kerajaan Belanda, yang di dalamnya terdapat 2 pasal mengatur mengenai koloni yaitu pasal 12 dan 36. Dalam pasal 12 ditetapkan bahwa pemerintahan koloni Belanda ditetapkan dengan wet khusus. Pasal 36 mengatakan pengaturan koloni-koloni tersebut dan mengenai seluk beluk pemerintahan interennya semata-mata tugas raja. Dengan Surat Keputusan Raja tanggal 9 Januari 1807 ditetapkan Instruksi kepada Gubernur Jenderal dan juga Instruksi dari Gubernur Jenderal bersama-sama Raden van Indie untuk menamakan Hindia Belanda menjadi “Aziatische Colonien en Bezittingen van Z.M. den Koning van Holland”.
Pada tahun 1803 Pelabuhan Makassar yang terletak di pesisiran Vlaardingen, diperbaiki. Catatan dari waktu itu menggambarkan, panjang dermaga 278 kaki (sekitar 83,73 m), lebar ke darat 9 kaki (sekitar 2,74 m), dan ke laut 10 kaki 3 inci (3,14 m).
Pada tanggal 16 Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tidak lama setelah Janssens menjalankan pemerintahan, Inggris menyerbu Pulau Jawa dan berhasil merebutnya setelah mendarat di Cilincing pada tanggal 10 Agustus 1811 di bawah pimpinan Jenderal Auchmuty. Jansssens kemudian ditangkap di Buitenzorg (Bogor) tanggal 18 September 1811 yang mengakhiri kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Kekalahan Pemerintah Belanda ini adalah salah satu akibat Perang Napoleon di Eropa, Belanda dikuasai oleh pemerintah dari kekaisaran Perancis dibawah Napoleon, dan Inggris mendapat kesempatan meluaskan daerah jajahannya dengan merebut daerah jajahan Belanda termasuk Hindia Belanda.
Dengan adanya penyerbuan tersebut, Belanda menyatakan menyerah, sehingga terjadi perobahan penguasa di Hindia Belanda dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Inggris yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 1811 di Semarang oleh Janssens. Pemerintah Inggris kemudian mengangkat Luitenant Gouvernour General Thomas Stanford Raffles untuk mengurus pemerintahan Hindia Belanda. Raffles selanjutnya mengirim para pejabat ke berbagai daerah untuk mengambil alih pemerintahan. Untuk wilayah Makassar dan Daerah Taklukannya dikirim Richard Phillips (1812-1814). Serah terima dengan Gubernur Makassar Letnan Kolonen Johan Caesar van Wikkerman (1809-1812) berlangsung pada tanggal 6 Maret 1812 bertempat di Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang). Pegawai Pemerintah Hindia Belanda tetap dipekerjakan dan berada dibawah pejabat Inggris dan disumpah untuk tunduk pada kekuasaan Raja Inggris dan pejabat EIC (East India Company) di Makassar.
Sehari setelah timbang terima, tepatnya tanggal 7 Maret 1812, Residen Phillips mengumumkan bahwa Makassar terbuka bagi semua pedagang dari koloni bangsa Eropa, hukum dan kebiasaan yang dilaksanakan di wilayah pemerintahan Makassar tetap dipertahankan, dan Pemerintah Inggris akan berusaha mensejahterakan penduduk. Kemudian pada tanggal 15 Maret 1812 diumumkan menghapus dan meringankan pajak gerobak angkutan dan kuda beban. Selain itu, pada tanggal 18 Nopember 1812 Raffles mengeluarkan pengumuman yang isinya melarang perdagangan budak di wilayah kekuasaannya. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh Phillips dengan mengeluarkan keputusan pada tanggal 6 Januari 1813 yang isinya melarang import dan export budak di wilayah Makassar.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles bermaksud menerapkan politik kolonial seperti dijalankan oleh Inggris di India, menurut suatu sistem yang dikenal dengan pajak bumi (landrente). Pemungutan pajak bumi (landrente) mulai diberlakukan pada tahun 1813, dan pemungutannya dijalankan oleh Desa. Daerah pertama yang terkena peraturan ini adalah Banten.
Dengan beralihnya kekuasaan kepada Inggris di Sulawesi Selatan, ditolak mentah-mentah oleh beberapa kerajaan termasuk raja-raja dari Bone, Suppa, dan Tanete yang mendapat dukungan dari kerajaan Sawitto, Alitta, dan Rappang. Sedangkan kerajaan Gowa dan Sidenreng tetap memihak kepada Inggris karena keterikatan dalam perjanjian yang telah dibuat. Pada tahun 1814 terjadi perang di Rompegading, Makassar antara pasukan Inggris dan pasukan Bugis yang dipimpin oleh Raja Bone ke-23 Toappatunru Arung Palakka Matinroe ri Lalebata (1812-1823) yang berdiam di Bontoala. Rompegading merupakan basis pertahanan Kerajaan Bone di Makassar yang ingin dikuasai Inggris, sehingga Toappatunru Arung Palakka diserang oleh pasukan Inggris yang menimbulkan perang yang disebut Rumpa'nna Rompegading artinya Perang di Rompegading.
Pemerintahan Raffles baru berjalan 5 tahun, pada tanggal 12 Maret 1816 ia digantikan oleh John Fendall. Menyusul kemudian pada tanggal 11 Desember 1816 Pemerintah Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda sesuai dengan Konvensi London (London Tractaat) tanggal 13 Agustus 1814, yang menyatakan bahwa Pemerintah Inggris menyerahkan Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda, dengan ketentuan Belanda bersedia menerapkan kebijakan perdagangan bebas, tetapi kemudian ingkar janji. Penyerahan kekuasaan diserahkan kepada Komisaris Jenderal yaitu Cornelis Theodorus Elout, Arnold Adriaan Buyskes dan Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen melalui John Fendall pengganti Raffles. A.G.Ph.B.van der Capellen selanjutnya diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tanggal 16 Agustus 1816 untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan dalam segala bidang berdasarkan Regeerings Reglement (RR) 1815 tanggal 3 Januari 1815. Didalamnya tercantum dasar pemerintahan yang perlu memperhatikan perbaikan nasib rakyat, pendidikan agama, dan moral serta perlu mendorong kebebasan bercocok tanam dan melangkah ke pemungutan pajak tanah.
Pemerintahan atas daerah jajahan yang dijalankan oleh Belanda pada waktu itu, dilakukan secara otokratis, birokratis, dan sentralistis dengan kurang mengindahkan struktur pemerintahan asli yang ada.
Pemerintahan yang dijalankan di Makassar juga dikembalikan ketangan Belanda (gouverneur van Makassar) yang dilangsungkan di Makassar pada tanggal 25 September 1816 melalui Chasse (mantan Gubernur Makassar) yang ditunjuk sebagai Komisaris untuk menerima wilayah tersebut dari D.M.Dalton (1815-1816). Dengan adanya pergantian pemerintahan, Belanda memperkuat kembali persekutuannya dengan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar seperti sebelum pendudukan Inggris demi keamanan kepentingan Belanda di kawasan ini.
0 Comments