|
Foto : Facebook |
Jika ada yang bertanya, batu apa yang paling terkenal di Kecamatan Woha
Kabupatrn Bima, NTB? Maka jawabannya adalah ‘Wadu Jara”. Jika
di-Indonesiakan per kata, maka akan berarti ‘Batu Kuda’. Batu yang
berada di ujung barat kampung Pucuke/Dusun Tani Mulya Desa Naru,
Woha-Bima ini memiliki lingkaran sekitar 17 meter dengan panjang sekitar
9 meter. Tepat berada di sisi utara jalan yang menuju ke Desa Waduwani
Kecamatan Woha. Berdiri kokoh di kaki Gunung Samili. Dipandang sekilas,
secara keseluruhan bongkahan batu ini tidaklah mirip dengan seekor kuda.
Tapi mungkin karena dirasuki oleh sebutannya sebagai ‘Wadu Jara’,
sehingga Jika kita memandangnya sedikit lebih lama, maka akan
mengalirkan imajinasi ke dalam mata kita kepada seekor kuda. Ia seolah
seekor kuda perang jaman dahulu yang menjulurkan lehernya menghadap
selatan ke arah Gunung Karaci di Desa Tenga. Imajinasi kita akan semakin
mengental dengan adanya batu kecil lain di dekatnya yang menyerupai
tonggak. Sehingga Wadu Jara ini Nampak terikat pada sebuah tonggak
dengan bertalikan semak yang menjalar di sekitarnya. Ia terlihat siap,
kapan saja untuk ditunggangi dan diajak garang di medan laga.
Kemungkinan besar, karena bentuknya yang seperti kuda itulah maka ia
dikenal dengan nama Wadu Jara. Dan para leluhur lantas menanam mitos
untuknya yang membuat keberadaan Wadu Jara ini semakin romantik tertanam
di hati masyarakat Woha. Sebuah mitos yang kemudian didongengkan dari
generasi ke generasi. Konon katanya, Wadu Jara ini adalah seekor kuda
yang menjadi tunggangan seorang ‘Pahlawan Lokal’ Pucuke yang bernama La
Ngamo (Bahasa Indonesia : Si Garang). Pahlawan ini berasal dari Negeri
Arab, yang berperan untuk menghalau bala dan menghadang musuh bagi
Kampung Syeikh (untuk diketahui nama purba dari Pucuke, adalah Kampung
Syeikh). Sehingga kampung ini terhalang dari bala dan bencana. Menarik,
karena ada sebongkah batu lain di kaki Gunung Karaci yang agak mirip
dengan Wadu Jara. Ukurannya lebih kecil dari Wadu Jara dan bagian
depannya tumpul-datar menyerupai seekor kuda tanpa kepala. Konon ‘Kuda’
tanpa kepala ini adalah tunggangan dari La Garisi. Pahlawan Lokal
Kampung Tenga (masih wilayah Kecamatan Woha). Dulu (sampai akhir era
90-an, sebelum hama siput menyerang), Pucuke punya lahan luas (Limbu)
sebagai penghasil Karebe (sejenis umbi dari akar tanaman rumput yang
bisa dimakan). Dan konon, Limbu penghasil Karebe ini menjadi lahan
sengketa antara La Garisi dengan La Ngamo. Untuk mengakhiri silang
sengketa ini, akhirnya La Garisi menantang La Ngamo untuk berlaga duel
di Bukit Taba’a (sebuah bukit yang terletak antara Gunung Samili dan
Gunung Karaci). Dan duel berakhir dengan terdesaknya La Garisi sampai ia
melarikan diri dan terkejar sampai di kaki Gunung Karaci. La Ngamo
lantas menebas kutung kepala kuda tunggangan La Garisi, yang akhirnya
bertekuk lutut menyerah kalah. Dan Limbu pun tetap menjadi hak milik
Pucuke. Setelah La Ngamo menutup usia, kudanyapun mengarca menjadi Wadu
Jara untuk membuat keperwiraan ‘Tuan’nya selalu dikenang hingga kini.
0 Comments